Reporter: Grace Olivia | Editor: Agung Jatmiko
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hantaman sentimen eksternal terhadap rupiah terus datang silih berganti. Belum reda sentimen perekomian Amerika Serikat (AS) dan kenaikan suku bunga The Fed, kini krisis ekonomi yang melanda Turki turut menekan mata uang Garuda.
Analis Monex Investindo Futures Faisyal, berpendapat, posisi rupiah saat ini bisa dikatakan minim "bantalan". Dari dalam negeri, defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia telah melebar hingga 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) sepanjang kuartal-II lalu.
Sementara, harga komoditas yang selama ini menjadi andalan dalam negeri, seperti batubara dan minyak mentah, juga tengah terkoreksi. "Dari sisi politik, pengumuman calon wakil presiden dari sisi incumbent kemarin tidak begitu menyenangkan pasar karena kurang berlatar belakang ekonomi," ujar Faisyal, Senin (13/8).
Di tengah kondisi seperti ini, Faisyal menilai, ruang pelemahan rupiah hingga Rp 15.000 per dollar AS terbuka hingga akhir tahun. Apalagi, masih ada prospek kenaikan suku bunga The Fed sebanyak dua kali lagi di bulan September dan Desember mendatang.
Meski begitu, Faisyal tak begitu yakin Bank Indonesia akan mengerek suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung besok hingga Rabu (15/8). "Pemerintah masih akan berkiblat ke The Fed dan menanti seperti apa arah kebijakan mereka di September nanti," menurut dia.
Adapun, hingga akhir Agustus, Faisyal memproyeksi rupiah berpotensi melemah dan berada di kisaran Rp 14.700 - Rp 14.750 per dollar AS. Di penghujung tahun, prediksinya, nilai tukar akan berada dalam rentang yang lebih lebar yaitu Rp 14.500 - Rp 15.000 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News