Reporter: Dimas Andi | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah makin perkasa. Kemarin, kurs rupiah di pasar spot ditutup menguat 1,45% menjadi Rp 14.590 per dollar AS. Pendorong penguatan rupiah berasal dari faktor eksternal, juga internal.
Dari sisi eksternal, menurut Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual, indikasi menangnya Partai Demokrat dalam pemilu sela di AS menjadi katalis positif bagi rupiah. Sebab, selama ini Donald Trump yang didukung oleh Partai Republik kerap menerapkan kebijakan ekonomi yang dampaknya kurang menguntungkan bagi pergerakan mata uang di negara-negara emerging market.
Dari internal, data ekonomi Indonesia yang membaik mampu menopang penguatan rupiah. Mulai dari data inflasi bulan Oktober, pertumbuhan ekonomi nasional di kuartal III, hingga cadangan devisa yang kembali naik di level US$ 115,16 miliar pada bulan lalu.
“Kebijakan transaksi Domestic Non-Delivery Forward yang diterapkan BI juga membantu penguatan rupiah,” kata David, Rabu (7/11).
Dia menganggap posisi rupiah yang berada di level Rp 14.590 per dollar AS cukup wajar dan sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi terkini Indonesia.
“Pelemahan yang sampai ke level Rp 15.000 itu lebih disebabkan oleh faktor eksternal yang diperparah oleh pelebaran defisit CAD (defisit transaksi berjalan),” ungkapnya.
Defisit transaksi berjalan (CAD) di kuartal III pun berpotensi kembali melebar ketika dirilis nanti. Supaya rupiah tidak terlalu terguncang oleh sentimen tersebut, pemerintah dan BI diharapkan terus mengkomunikasikan dengan baik kondisi dan outlook perekonomian Indonesia kepada para investor.
Pasalnya, ketidakpastian yang melanda pasar keuangan sepanjang tahun ini membuat para investor relatif lebih sensitif terhadap data-data ekonomi yang dirilis pemerintah.
Perbaikan secara struktural juga harus segera dilakukan oleh BI dan pemerintah agar defisit transaksi berjalan tak lagi melebar di masa mendatang. Misalnya dengan mendorong investasi asing secara langsung di sektor riil atau foreign direct investment.
Hal ini dilakukan mengingat dana investasi asing di pasar saham dan obligasi bersifat hot money yang cukup rentan oleh sentimen global. “Indonesia tidak bisa terus-terusan bergantung oleh dana hot money investor asing di pasar modal,” imbuh David.
Selain itu, investasi di sektor riil tersebut juga diharapkan berorientasi ekspor supaya kelak bisa menstabilkan posisi defisit transaksi berjalan Indonesia.
David pun menilai, jika masalah defisit transaksi berjalan mampu diatasi, kurs rupiah tidak hanya akan stabil terhadap dollar AS. Tapi juga berpotensi menguat terhadap mata uang lainnya secara berkelanjutan.
Ke depan, David memperkirakan rupiah masih memiliki peluang bergerak di bawah level Rp 15.000 per dollar AS pada akhir tahun nanti. Namun, hal tersebut bergantung pada kelanjutan sentimen eksternal yang terjadi seperti ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS dan perang dagang yang sewaktu-waktu bisa kembali mencuat.
“Pernyataan The Fed seusai kenaikan suku bunga AS di Desember nanti juga bisa mempengaruhi prospek rupiah di tahun 2019,” tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News