kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Roubini: China lebih rentan krisis dari Indonesia dan India


Senin, 24 Oktober 2011 / 15:45 WIB
Roubini: China lebih rentan krisis dari Indonesia dan India
Kang Ha Na aktris drakor Start-Up akan membintangi drama Korea terbaru Frightening Cohabitation di tvN.


Reporter: Djumyati Partawidjaja, Asih Kirana Wardani | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Dalam dunia finansial siapa yang tidak kenal Prof. Dr. Nouriel Roubini sang peramal kiamat Lehman Brothers? Warga negara Amerika Serikat keturunan Turki-Yahudi itu datang ke Indonesia atas undangan BKPM dan ISEI untuk memberikan kuliah terbuka pertamanya di Indonesia.

Roubini yang juga dijuluki Dr. Doom di aula di Gedung BKPM Jalan Gatot Subroto mengungkapkan apa yang sebenarnya sudah ia ungkapkan dalam makalah-makalahnya yang telah banyak dikutip oleh media-media asing. Misalnya untuk krisis di Amerika Roubini memperkirakan, peluang ekonomi AS dan Eurozone (negara-negara maju) terjerumus kembali dalam resesi mencapai 60%.

Berbagai aksi financial engineering (rekayasa keuangan) yang dilakukan oleh negara-negara maju tersebut untuk mengatasi krisis barangkali memang upaya yang perlu dilakukan. Namun, upaya itu belumlah cukup untuk bisa menggerakkan sosial politik sebuah negara .

Kunci utama keluar dari krisis adalah mendorong pertumbuhan ekonomi. Sayang, Sang Doktor tidak terlalu mengelaborasi langkah-langkah yang efektif untuk keluar dari krisis itu. Ia hanya bisa menyebutkan perlu upaya jangka panjang untuk bisa benar-benar dari krisis ekonomi saat ini.

Roubini melihat saat ini sudah mulai terjadi pergeseran kekuatan ekonomi dunia, baik dari sisi perdagangan maupun pasar finansialnya. Dari Barat ke Timur, dari Utara ke Selatan, dari ekonomi negara-negara maju ke ekonomi negara-negara berkembang. Itulah sebabnya muncul emerging market yang banyak memikat orang karena pertumbuhan ekonominya, seperti di Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan.

Roubini juga menggarisbawahi India dan Indonesia, yang mengandalkan konsumsi domestik sebesar 50%-60% sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonominya. Dua negara ini bisa dibilang lebih kebal terhadap gonjang-ganjing krisis di Eurozone dan AS. Indonesia dan India beruntung karena memiliki populasi besar dan konsumsi yang terus meningkat. Apalagi, Indonesia saat ini sudah pernah belajar dari krisis di tahun 1998 sehingga memiliki sistem finansial dan sektor swasta yang kuat.

Agar ekonomi terus tumbuh dalam jangka panjang, Indonesia punya tantangan besar, yaitu mengembangkan nilai lebih dengan menggunakan inovasi teknologi (termasuk teknologi informasi dan teknologi untuk energi alternatif), mengembangkan human capital, investasi di natural resources dan physical capital investment. Infrastruktur merupakan salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Jika persoalan infrastruktur bisa diatasi dan proyek-proyek infrastruktur berjalan, ekonomi Indonesia bakal semakin cerah.

Sementara itu khusus untuk China Roubini memberikan informasi yang cukup mengejutkan. Walau China memiliki populasi terbesar di dunia, menurut Roubini, China justru memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan India dan Indonesia bila dihadapkan dengan perkembangan kondisi global saat ini karena konsumsi domestiknya hanya 30% dari GDP. Jadi pada waktu perekonomian Amerika dan Eropa melemah, maka penjualan produk-produk China pun akan ikut lesu.

Selain itu Roubini memperkirakan, public debt China saat ini sudah mencapai 80% dari GDP. Ini sangat mengejutkan karena menurut data resmi pemerintah China, public debt hanya sekitar 18% dari GDP. Bayangkan jika asumsi Roubini benar dan kredit macet masyarakat China makin membengkak. Sistem perbankan di China pun akan gonjang-ganjing. Selain itu, Roubini melihat China dalam 30 tahun terakhir menggenjot investasi yang berlebihan dalam pembangunan fisiknya sehingga kapasitas sektor swasta, termasuk di sektor properti sangat berlebih. Itu berarti, produksi China lebih besar daripada permintaan sehingga tidak akan terserap oleh pasar domestiknya.

Roubini melihat ekonomi China terlalu bergantung pada pasar ekspor. Ekspor tentu bagus bagi suatu negara, tapi jika ekspor sudah terlalu besar tentu membahayakan jika ekonomi negara-negara tujuan ekspor utama, seperti Eropa dan AS, sedang bermasalah. China, saat ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi kawasan Asia, bahkan dunia. Bayangkan jika ekonomi China juga mulai goyah. “Hard landing akan buruk China juga untuk emerging market,” tambah Roubini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×