Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Persepsi risiko investasi di sejumlah negara emerging market kompak naik di tengah ketidakpastian ekonomi global yang kembali mencuat. Hal ini ditandai dengan naiknya angka credit default swap (CDS), khususnya untuk tenor lima tahun, di beberapa negara berkembang. CDS di beberapa negara bahkan mencapai level tertinggi, termasuk di Indonesia.
Rabu (20/6) CDS Indonesia tenor lima tahun mencapai 136,40. Di hari sebelumnya, CDS Indonesia bahkan mencapai 140,67, yang merupakan level tertinggi sejak April 2017. Angka ini melesat 65% dari posisi di akhir tahun 2017 yang masih di 85,25.
Buat perbandingan, CDS Vietnam tenor lima tahun pada Selasa (19/6) pun naik ke posisi 165,45, level tertinggi sejak Mei tahun lalu. CDS Filipina juga menyentuh level tertinggi sejak Februari 2017 di posisi 95,71.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, faktor yang menjadi pendorong utama kenaikan CDS emerging market ialah keputusan The Federal Reserve menaikkan suku bunga 25 basis poin pada 13 Juni lalu.
Selain itu, The Fed juga mencetuskan keyakinan bahwa tingkat pengangguran AS akan jadi lebih rendah dan tingkat inflasi akan meningkat. Proyeksi ini lebih baik ketimbang proyeksi pada pertemuan FOMC pada Maret lalu. "Kepercayaan diri The Fed dalam memandang perekonomian AS ini kian membuat aset negara emerging market menjadi kurang atraktif," kata Josua, Rabu (20/6).
Kenaikan angka CDS ini juga bakal diikuti dengan kenaikan yield surat utang negara-negara berkembang. Untungnya, kemarin, yield SUN Indonesia tenor 10 tahun masih bertengger di atas 7,2%. Josua menilai, naiknya yield obligasi ini dalam jangka pendek berpotensi membuat nilai tukar melemah dan memancing capital outflow terus terjadi.
Head of Economist Pefindo Fikri Permana pun sepakat, kenaikan CDS dan yield SUN dikhawatirkan akan mengubah aliran modal asing kembali ke AS. Tak hanya pasar obligasi, dampak negatif pun akan berimbas pula pada pasar saham domestik.
Dalam jangka menengah panjang, kenaikan yield juga dapat membuat cost of borrowing pemerintah kian membengkak. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi pun berpotensi melambat.
Padahal secara fundamental Indonesia masih menunjukkan performa yang positif. Lembaga pemeringkat global S&P bahkan telah mengonfirmasi peringkat utang Indonesia masih dalam kategori investment grade (BBB-) dengan outlook stabil.
"Masuknya Indonesia dalam Bloomberg Barclays Index di pertengahan tahun ini turut jadi bukti sekaligus sentimen positif yang diharapkan dapat menahan tingkat risiko investasi kita," tambah Josua.
Menanti BI
Meski demikian, persepsi risiko investasi ini juga sangat bergantung pada respons dari regulator, dalam hal ini Bank Indonesia (BI), untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Meski indikator makroekonomi cenderung solid, Josua menilai, nilai tukar tetap menjadi faktor terpenting di mata investor asing.
Ia menilai kenaikan persepsi risiko bisa diimbangi dengan menaikkan suku bunga, sehingga daya tarik pasar domestik naik. "Tapi tetap harus meninjau lagi seberapa dalam koreksi yang terjadi di pasar obligasi," ujar Josua.
Bila tidak diatasi, meningkatnya persepsi risiko investasi juga bisa berpengaruh pada investasi asing secara riil atau foreign direct investment (FDI). Menurut Josua, FDI berpotensi mandek jika kondisi ini berpengaruh pada volatilitas mata uang Garuda.
"Persepsi risiko ini memang lebih ke arah portofolio, tapi FDI juga jadi terhambat jika rupiah tidak stabil sehingga biaya ekspansi dan impor bahan baku terpukul kondisi nilai tukar," jelas dia.
Tak hanya itu, risiko investasi di Indonesia juga kian meningkat akibat perang dagang antara AS dan China. "Ini membuat ketidakpastian ekonomi global bertambah dan persepsi investor terhadap negara berkembang yang mengandalkan ekspor jadi lebih buruk," jelas Josua.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News