Reporter: Faisal Rachman | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Ekspektasi sebagian besar pelaku pasar akan jebloknya industri tekstil terbukti dengan kinerja emiten tekstil yang menyedihkan di akhir tahun 2008 lalu. Salah satunya adalah PT Ricky Putra Globalindo Tbk (RICY), yang membukukan kerugian bersih sebesar Rp 9,37 miliar. Ini berbanding terbalik dengan pencapaian di akhir 2007 lalu yang masih mencatatkan keuntungan bersih sebesar Rp 41,39 miliar.
Dalam laporan kinerja ke Bursa Efek Indonesia akhir minggu lalu, Corporate Secretary PT Ricky Putra Globalindo Tjiong Tek Siong menjelaskan, pencapaian kinerja yang buruk ini seiring dengan kelesuan pasar industri tekstil yang memperlambat penjualan perusahaan. Hal ini mendorong meningkatnya inventori serta piutang perusahaan khususnya pada divisi pemintalan benang. "Padahal pada saat yang sama, produksi tetap harus berjalan dengan kapasitas penuh untuk mengejar efisiensi," ungkap Tjiong.
Sebenarnya, RICY masih mencatatkan kenaikan penjualan bersih sebesar 15,32% menjadi Rp 490,78 miliar dibandingkan pencapaian di 2007 yang sebesar Rp 425,58 miliar. Namun, naiknya harga pokok penjualan sebesar 30,56% membuat laba kotor RICY melorot menjadi Rp 85,38 miliar dari setahun sebelumnya yang masih tercatat sebesar Rp 115,10 miliar. "Untungnya penjualan pada divisi pakaian dalam masih membukukan pertumbuhan," serunya.
Hal lain yang membuat laba bersih menjadi tergerus adalah besaran beban lain-lain yang membengkak menjadi Rp 38,31 miliar dari sebelumnya hanya sebesar Rp 6,09 miliar. Kenaikan beban ini lantaran sepanjang 2008 kemarin, RICY harus mengalami peningkatan kerugian akibat selisih kurs menjadi sebesar Rp 21,95 miliar dari setahun sebelumnya hanya sebesar Rp 2,78 miliar saja.
Dengan terdepresiasinya rupiah dan beban-beban lainnya tersebut, Tjiong menjelaskan sepanjang 2008 kemarin RICY harus mengalami kenaikan total kewajiban sebesar Rp 83,50 miliar menjadi Rp 321,65 miliar dari sebelumnya Rp 238,17 miliar. "Kenaikan nilai tukar Dolar Amerika terhadap rupiah memang turut meningkatkan nilai utang perseroan," lanjutnya.
Menurutnya, manajemen berpendapat hal-hal tersebut di atas tentunya akan mempengaruhi likuiditas perseroan serta kemampuan perseroan menghasilkan laba dalam jangka pendek.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News