Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meski pendapatannya tumbuh, bottom line PT Intraco Penta Tbk (INTA) masih terbebani bisnis jasa keuangan. Pada kuartal III 2017, kerugian INTA melonjak 577,26% year-on-year (yoy) menjadi Rp 155,78 miliar.
Proses restrukturisasi yang dijalani anak usaha INTA, PT Intan Baruprana Finance Tbk (IBFN) disebut sebagai salah satu faktor yang memperparah kerugian tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2017, pendapatan usaha INTA tumbuh 47,96% (yoy) menjadi Rp 1,52 triliun. Namun, kerugian INTA juga meroket, dari Rp 23 miliar pada akhir September 2016 lalu jadi Rp 155,78 miliar di akhir September 2017.
Salah satu komponen pemberat di laporan keuangan INTA adalah penurunan pendapatan dari bisnis pembiayaan. Per September 2016, bisnis pembiayaan INTA menyumbang Rp 101,44 miliar. Tapi di akhir September 2017, lini bisnis ini justru mencatat kerugian Rp 51 miliar. Sebagaimana diketahui, bisnis pembiayaan INTA dijalani anak usahanya, yakni IBFN.
"Laporan keuangan kami menyerap rugi IBFN, sehingga laba termakan," ungkap Ferdinand, Investor Relations INTA, kepada KONTAN beberapa waktu yang lalu.
Hingga akhir September tahun lalu, IBFN membukukan pendapatan Rp 192,42 miliar. Sedangkan di ujung September 2017, IBFN mencetak pendapatan minus, yakni sebesar Rp 34,31 miliar. Dengan demikian, kerugian IBFN membesar, dari Rp 82,21 miliar per akhir September tahun lalu jadi Rp 144,10 miliar di ujung September tahun ini.
Cuma sejatinya, Ferdinand bilang, bila menggunakan angka yang dinormalisasi tanpa bisnis pembiayaan, INTA masih menorehkan perbaikan kinerja di kuartal III 2017. Dalam perhitungannya, tanpa IBFN, INTA bisa membukukan pendapatan sebesar Rp 1,57 triliun, meningkat 71% (yoy). Laba kotornya juga bisa melonjak 61% (yoy) diiringi kenaikan EBITDA mencapai 87% dan peningkatan EBIT sebesar 173% (yoy).
Saat ini, IBFN masuk proses restrukturisasi melalui penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di pengadilan. Menurut Ferdinand, INTA berharap, perkara IBFN segera selesai. Dengan begitu, IBFN bisa memanfaatkan momentum stabilitas harga komoditas untuk kembali menyalurkan pembiayaan. "Yang penting, kami punya captive market untuk IBFN, sektor tambang saat ini sedang bagus," kata Ferdinand.
INTA juga mengharapkan, pada semester I 2018 nanti, posisi bottom line mereka akan membaik, seiring penyelesaian perkara IBFN. Berbekal optimisme dari sektor pertambangan, Ferdinand menyebutkan, pertumbuhan pendapatan tahun depan bisa mencapai 20%. Di tahun ini, INTA juga memasang target pertumbuhan pendapatan sebesar 20% (yoy) menjadi sebanyak Rp 1,8 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News