Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Wacana pelarangan reksadana pasar uang memiliki aset dasar alias underlying asset obligasi terus bergulir. Sejauh ini Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) belum memastikan kapan wacana itu berubah menjadi aturan.
Fakhri Hilmi, Kepala Biro Pengelolaan Investasi Bapepam LK, mengatakan, regulator tengah mengkaji aturan itu dan belum akan ada peraturan baru dalam waktu dekat. "Kajiannya masih berbentuk draf. Masih dalam tahap diskusi tetapi belum diputuskan," ujar dia, saat dihubungi KONTAN, Minggu (4/5). Namun, sayang, Fakhri enggan membeberkan lebih jauh mengenai alasan dan dampaknya bagi industri reksadana.
Manajer investasi (MI) menduga, latar belakang wacana pelarangan adalah tidak semua obligasi di bawah satu tahun, mudah diperdagangkan. Padahal reksadana pasar uang menuntut aset dengan tingkat likuiditas yang tinggi.
Selain masalah tersebut, Sekretaris Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI), Legowo Kusumonegoro mengatakan, ada penyesuaian metode penghitungan baru nilai aktiva bersih (NAB) di portofolio pasar uang. “Ini berkaitan dengan pencatatan akuntansi di portofolio pasar uang, tetapi hasilnya bagaimana masih dibahas," papar dia. APRDI saat ini masih menyusun usulan ke Bapepam.
Jika wacana itu menjadi aturan, imbal hasil reksadana pasar uang bisa dipastikan menyusut. Dalam ketentuan yang berlaku saat ini, manajer investasi boleh menginvestasikan dana di sertifikat deposito, Sertifikat Bank Indonesia, surat pengakuan utang dan obligasi, yang akan jatuh tempo dalam waktu kurang dari satu tahun.
Seperti obligasi
Meski begitu, Vice President Investment CIMB Principal Asset Management, Fadlul Imansyah menanggapi positif rencana pelarangan obligasi sebagai aset dasar reksadana pasar uang. Menurut dia, secara natural seluruh aset dasar reksadana pasar uang seharusnya memiliki tingkat likuiditas yang tinggi.
Sedang obligasi tidak selalu memiliki likuiditas yang tinggi. Memang, kebanyakan manajer investasi memegang obligasi, terutama obligasi korporasi, hingga tanggal jatuh tempo. Jadi, likuiditas obligasi tidak terlalu penting.
Namun apabila terjadi aksi pencairan (redemption) besar-besaran, mau tak mau manajer investasi harus menjual aset dasarnya. Dan jika aset sulit dijual, pembayaran ke investor bisa tersendat. "Dari sisi likuiditas tujuannya bagus. Namun menjaga return itu merupakan tantangan bagi manajer investasi," kata dia.
Hitungan Fadhul, jika reksadana pasar uang tidak boleh memiliki aset di obligasi, maka return reksadana pasar uang bisa tergerus 1%-2%. Kesulitan manajer investasi adalah sosialisasi kepada investor yang cenderung tetap meminta return tinggi. Reksadana pasar uang saat ini, menghasilkan return berkisar 3%-10% dalam setahun.
Pengamat pasar modal, Rudiyanto, membenarkan, pelarangan obligasi sebagai aset dasar reksadana pasar uang, bisa menyusutkan keuntungan investor. Yang akan terjadi, return reksadana pasar uang tidak berbeda dengan bunga yang dihasilkan deposito.
"Memang kalau obligasi korporasi di bawah 1 tahun relatif kurang likuid. Tetapi kalau manajemen emiten obligasi itu bagus, tentu bukan isu besar," jelas dia. Rudiyanto menduga, pelarangan obligasi, bisa menyulitkan manajer investasi menawarkan reksadana pasar uang baru, karena return yang terbatas.
Dia menduga, investor hanya akan menggunakan reksadana pasar uang sebagai sarana transit beralih ke reksadana lain seperti reksadana saham atau reksadana campuran. "Misal kalau menunggu kondisi pasar bagus, sebelum masuk ke reksadana campuran atau saham, dana ditempatkan di reksadana pasar uang," kata dia.
Rudiyanto berpendapat, sebaiknya reksadana pasar uang tetap boleh beraset obligasi. Namun harus ada peningkatan transparansi penempatan dana. Jadi, "Investor bisa menilai likuid atau tidaknya," saran dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News