Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setelah resmi mendapat payung hukum dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2018 silam, industri equity crowdfunding terus berkembang. Per Desember 2019, sudah terdapat tiga layanan yang resmi mengantongi izin OJK, yakni Bizhare, Santara, dan CrowdDana.
Merujuk dari laman resmi ketiga layanan tersebut, jika dijumlahkan, setidaknya sudah terdapat 108 pelaku usaha yang menggunakan metode urun dana lewat equity crowdfunding baik yang sedang dalam proses pengumpulan dana maupun yang sudah selesai. Lebih rincinya, Santara sebanyak 70 equity crowdfunding, Bizhare 34 equity crowdfunding, dan CrowdDana 4 equity crowdfunding.
Adapun Bizhare baru saja mendaftarkan equity crowdfunding dari PT Ritel Bersama Satu ke Kustodian Sentral Efek Indonesia. Adapun equity crowdfunding tersebut melepas sebanyak 191 unit saham di mana setiap unitnya dihargai Rp 5 juta.
Berdasarkan laman Bizhare, equity crowdfunding yang digunakan untuk mendirikan gerai ritel tersebut telah berhasil mengumpulkan dana sebanyak Rp 955 juta dari 86 investor. Disebutkan bahwa rata-rata yield dividen yang ditawarkan mencapai 24-26% per tahun dan akan dibagikan setiap tiga bulan sekali.
Baca Juga: Memburu cuan sekaligus membantu UKM lewat equity crowdfunding
Head of Investment Research Infovesta Utama mengatakan besarnya tawaran imbal hasil equity crowdfunding tersebut memang menarik. Namun, di satu sisi, dia mengingatkan return yang tinggi selalu diiringi dengan risiko yang juga tinggi. Terlebih di tengah situasi seperti saat ini, di mana pelaku usaha UKM terdampak dari pandemi virus corona dan daya beli masyarakat yang juga turun.
“Secara umum sektor ritel cukup menarik karena salah satu yang defensif dan tidak terlalu terdampak pandemi dibanding pilihan equity crowdfunding lainnya seperti food & beverage, otomotif, maupun properti. Jika merujuk laporan keuangan perusahaan ritel seperti Alfamart dan Indomaret itu memang pendapatan turun, tapi dari sisi cashflow masih bisa positif sehingga masih bisa bertahan,” jelas Wawan kepada Kontan.co.id, Jumat (25/9).
Kendati demikian, Wawan menyebut investor yang masuk ke equity crowdfunding memang harus sudah siap menyadari risikonya. Bahkan ia menilai, dana yang digunakan untuk investasi equity crowdfunding merupakan dana yang siap untuk “merugi”.
Baca Juga: Per Mei 2020, BEI catat pertumbuhan investor pasar modal sebesar 13%
Dengan imbal hasil yang tinggi agar tawarannya menarik, pelaku usaha akan mendapat tekanan yang besar untuk menjalankan bisnisnya. Dengan demikian, Wawan mengatakan, ketika arus kas terganggu, pasti akan berdampak pada pembagian dividen. Dampaknya bisa berupa dividen yang lebih kecil atau bahkan dihentikan dulu sampe kondisi lebih baik. Oleh karena itu ia menyebut dana yang digunakan adalah dana yang siap “merugi”.
Walau prospek equity crowdfunding tahun ini dinilai cukup tertekan, Wawan masih optimistis prospek investasi equity crowdfunding ke depan masih akan sangat menarik. Terlebih ketika pandemi berakhir dan vaksin sudah didistribusikan.
“Selepas pandemi pasti akan banyak pelaku usaha yang akan menghidupkan maupun memulai lagi bisnisnya. Artinya ketika roda bisnis diputar lagi, itu pasti butuh pendanaan yang besar sekali. Saya tidak yakin, pendanaan dari bank dan pasar modal tidak bisa menutup kebutuhan yang ada. Saat itulah equity crowdfunding bisa jadi alternatif investasi yang menarik,” sambung Wawan.
Baca Juga: Tengok daftar investasi bodong yang dirilis OJK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News