Reporter: Nisa Dwiresya Putri | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga awal Oktober 2017, Bursa Efek Indonesia (BEI) menyebut ada 22 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah tercatat di pasar saham Indonesia. Kapitalisasi pasar seluruh emiten pelat merah tersebut mencapai seperempat dari total kapitalisasi pasar. Meski demikian, kinerja saham emiten BUMN masih tak merata.
Direktur BEI Samsul Hidayat menyebut, masuknya PT Garuda Maintenance Facility AeroAsia Tbk (GMFI) ke BEI membulatkan jumlah emiten BUMN menjadi 22 emiten. Jumlah ini setara 3,92% dari total 560 emiten yang telah melantai di BEI. “Itu merepresentasikan 26,6% dari market cap,” tutur Samsul, Selasa (10/10).
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan mencatat, secara historis, tahun 2010, kapitalisasi pasar emiten BUMN berkisar 25%. Pada 2014, kapitalisasi pasarnya sempat naik menjadi 26,4%. “Kalau naik berarti pertumbuhan kapitalisasi pasar emiten BUMN lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan kapitalisasi pasar secara umum," katanya, Jumat (13/10).
Meski demikian, nyatanya tidak semua BUMN bisa menoreh pergerakan saham yang mentereng. Secara umum, Alfred menilai emiten BUMN masih menarik untuk dimasukkan dalam portofolio. Terutama bagi saham-saham BUMN yang solid, antara harga saham dan fundamental perusahaan.
Alfred menilai, saham emiten BUMN memiliki risiko yang lebih rendah dibanding saham emiten swasta. Misalnya, ketika emiten BUMN ingin melakukan aksi korporasi, pengawasan yang dilakukan pemerintah jauh lebih kuat.
Dari sisi lain, Alfred juga melihat upaya pemerintah untuk mendorong kinerja BUMN. “Ketika emiten BUMN ada masalah, pemegang sahamnya juga cukup reaktif karena berhubungan dengan citra pemerintah,” paparnya.
Selain itu, analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra mencatat, emiten BUMN punya karpet merah dalam mendapatkan kontrak kerja. Bayak program pemerintah yang melibatkan emiten BUMN, seperti pada percepatan infrastruktur, dan program elektronifikasi di gardu tol.
Ada untung tentu ada pula kerugiannya. Menurut Aditya, emiten BUMN sangat terikat dengan aturan pemerintah. Soal dividen, semakin banyak alokasi untuk pemerintah, maka semakin kecil pula modal kerja perusahaan.
“Ada pula beberapa kebijakan pemerintah untuk mengakomodir pertumbuhan daya beli, tapi di sisi lain merugikan emiten BUMN,” imbuhnya.
Alfred menambahkan, kerugian lainnya adalah soal proses administrasi yang panjang ketika emiten BUMN akan melakukan suatu aksi korporasi.“Tapi sejauh ini emiten BUMN tentu sangat menarik, pemerintah sebagai pemegang saham akan menggenjot kinerja BUMN,” tuturnya.
Sejauh ini, Alfred menyebut beberapa saham emiten BUMN yang masih menarik untuk dikoleksi, seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP), dan PT Tambang Btubara Bukit Asam Tbk (PTBA).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News