Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa peringkat surat utang dari perusahaan di sektor keuangan mengalami penurunan. Tak dipungkiri kondisi makro ekonomi Indonesia yang saat ini tertekan tren kenaikan suku bunga global terutama dari Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu faktor yang membuat peringkat surat utang sektor keuangan turun. Namun, analis memproyeksikan, penerbitan surat utang dari sektor ini masih akan ramai dan tak semua emiten keuangan berkinerja buruk. Hanya saja, investor perlu selektif
Berdasarkan rangkuman kegiatan PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) periode 13 April-17 Juli 2018, dari 23 entitas (tidak termasuk efek beragun aset), tiga diantaranya, mengalami penurunan peringkat.
Pefindo menurunkan peringkat Obligasi Subordinasi Berkelanjutan I 2017 dan Obligasi Subrodinasi IV 2014 milik PT Bank Mayapada Internasional (MAYA) dari idBBB+ menjadi idBBB. Pefindo juga memangkas peringkat Obligasi Subrodinasi III 2013 milik MAYA dari is A- menjadi id BBB+. Penurunan peringkat obligasi MAYA sejalan dengan peringkat perusahaan yang juga Pefindo turunkan dari idA menajadi idA-.
Selanjutnya, Pefindo juga menurunkan peringkat surat utang milik Bank Bukopin (BBKP), yaitu Obligasi Subordinasi Berkelanjutan I 2012 dari idA menjadi id BBB+ dan menurunkan Obligasi Subordinasi Berkelanjutan II 2015 dari idA- menjadi idBBB. Penurunan peringkat surat utang tersebut juga seiring dengan penurunan peringkat BBKP dari idA+ menjadi idA.
Terakhir, Pefindo menarik peringkat perusahaan dan surat utang dari PT sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance).
Financial Institution Ratings Director Pefindo Hendro Utomo mengatakan penurunan peringkat di sektor keuangan tidak semua dipengaruhi karena kondisi makro ekonomi Indonesia yang sedang tertekan.
"Seharusnya ada pengaruh juga penurunan kinerja tersebut akibat kondisi makro tetapi memang ada beberapa entitas yang terkena dampak cukup signifikan dari kondisi makro ini dan akhrinya peringkat diturunkan," kata Hendro, Selasa (31/7). Penyebab penurunan peringkat lainnya berasal dari kienrja individual perusahaan tersebut.
Senada, I Made Adi Saputra Analis Fixed Income MNC Sekuritas mengatakan, kondisi pada Bank Bukopin dan SNP Finance tidak bisa disamakan dengan kondisi sektor keuangan saat ini. Penyebabnya, Bank Bukopin tersangkut masalah modifikasi laporan keuangan dan SNP Finance tersandung gagal bayar surat utang.
Menurut Made, kondisi pelemahan kualitas aset di Bank Mayapada bisa mewakili sebagian kecil kondisi sektor keuangan yang saat ini tertekan kondisi makro ekonomi Indonesia. "Di sektor perbankan memang tidak semua kinerja menurun, hanya beberapa perbankan yang mengalami pelemahan aset karena kondisi ekonomi makro yang belum cukup pulih karena tertekan faktor eksternal dan tren kenaikan suku bunga," kata Made, Selasa (31/7).
Analis Pefindo Putri Amanda mengatakan, penurunan peringkat Bank Mayapada didorong melemahnya kuliatas aset yang diproyeksikan tidak akan membaik secara signifikan dalam jangka waktu dekat hingga menengah. Berdasarkan laporan keuangan per 31 Maret 2018 dan 31 Desember 2017, perbankan dihadapkan pada tingginya rasio kredit bermasalah yang masing-masing di level 3,7% dan 5,6%. Sedangkan level rasio kredit dalam perhatian khusus masing-masing di 45,1% dan 33,9%.
Kenaikan suku bunga acuan mendorong perbankan dan lembaga keuangan bersiap-siap menaikkan suku bunga kredit di tengah ekonomi yang masih lemah. Hal tersebut berdampak negatif karena bisa menurunkan minat permintaan kredit dan naiknya rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL).
Hendro memproyeksikan, secara umum kinerja sektor perbankan masih akan stabil. Namun, tak dipungkiri perkembangan kenaikan tingkat suku bunga acuan akan berdampak negatif bagi sektor ini. "Kalau suku bunga naik dan diikuti dengan naiknya bunga kredit, target pertumbuhan kredit masing-masing bank bisa tertekan," kata Hendro.
Dari sisi pendanaan, kenaikan suku bunga bisa menekan profitabilitas di sektor keuangan. Emiten di sektor ini tentu berharap mendapat imbal hasil yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi suku bunga di pasar. Jika hal tersebut tidak dibarengi dengan kenaikan pinjaman kredit maka margin di sektor keuangan berpotensi turun. "Tren margin perbankan turun dari di sekitar 5,5% ke 5%," kata Hendro.
Made menambahkan, memang tidak semua emiten di sektor keuangan kinerja dan peringkat obligasinya menurun. Made menyebut, bank yang masuk BUKU IV behasil menjaga margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) karena memiliki modal kuat serta rating tinggi atau AAA. Sedangkan, yang biasanya langsung menerima dampak negatif dari tren kenaikan suku bunga adalah bank buku 1,2 dan 3.
Made menyarankan investor baiknya selektif dalam memilih surat utang dari sektor keuangan, karena masih ada emiten sektor keuangan yang kinerjanya baik. "Memang harus selektif dan tidak hanya tertarik dengan tawaran kupon tinggi melainkan juga harus sadar akan risiko gagal bayar," kata Made.
Penurunan peringkat obligasi menandakan adanya risiko gagal bayar yang membayangi. Selain itu, obligasi yang peringkatnya turun jumlah investor yang memegang obligasi tersbeut semakin terbatas sehingga likuiditas rendah. "Kalaupun mau tetap menjual di pasar sekunder juga harus siap rugi dan jika tetap memegang obligasi tersebut harus siap dengan tantangan gagal bayar disaat pemulihan ekonomi domestik diproyeksikan masih akan lama terjadi," kata Made.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News