Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pergerakan harga nikel diprediksi masih akan penuh tekanan di sepanjang tahun ini. Upaya pemangkasan produksi tidak cukup menopang harga, sementara kondisi ekonomi China mengindikasikan permintaan belum akan pulih.
Andri Hardianto, analis PT Asia Tradepoint Futures mengatakan, industri besi baja China telah sepakat untuk memangkas produksi hingga 100 juta ton dalam lima tahun ke depan seiring dengan pemangkasan produksi nikel.
Selain itu, China juga akan menunda pembukaan pabrik besi baja baru lantaran melihat adanya kontraksi permintaan. "Ini bisa menjadi pengaruh positif bagi harga nikel karena sebagai salah satu bahan baku dalam produksi besi baja," paparnya.
Namun untuk jangka panjang, Andri belum melihat adanya faktor fundamental yang dapat membuat harga nikel lebih baik.
Stimulus ekonomi baik yang dilakukan di Eropa maupun China menurut Andri hanya akan meningkatkan likuiditas di pasar keuangan. Sementara untuk pasar komoditas masih tergantung pada kondisi permintaan. Hal tersebut terutama berkaitan dengan aktivitas industri, manufaktur, dan bisnis di negara konsumen terbesar yaitu China.
Di sisi lain, spekulasi kenaikan suku bunga The Fed masih tetap ada meski mulai luntur. Jika nantinya potensi kenaikan suku bunga The Fed kembali menguat, maka dollar AS akan terangkat dan menambah tekanan pada harga nikel.
Mengutip Bloomberg, Jumat (5/2) harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange anjlok 4,5% ke level US$ 8.160 per metrik ton dibanding sehari sebelumnya. Angka tersebut merupakan yang terendah sejak 2003.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News