CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Perang dagang memukul harga logam industri dalam jangka pendek


Minggu, 25 Maret 2018 / 15:16 WIB
Perang dagang memukul harga logam industri dalam jangka pendek
ILUSTRASI.


Reporter: Grace Olivia | Editor: Dupla Kartini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China dengan pemberlakukan tarif impor memukul harga komoditas logam industri. Namun, penurunan harga diproyeksi tidak akan berlangsung dalam jangka panjang. Harga logam industri masih berpeluang menguat seiring ekspektasi pertumbuhan ekonomi China yang masih positif.

Analis PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan, ketegangan situasi dagang antara AS dan China memang berdampak pada harga logam industri. "Ada ketakutan perang dagang bakal memperlambat laju pertumbuhan ekonomi China, negara yang selama ini paling tinggi menyerap logam industri," ujarnya, (23/3).

Mengutip Bloomberg, pada penutupan perdagangan Jumat (16/3), harga logam industri kontrak tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) kompak melemah. Harga aluminium turun 1,18% ke level US$ 2.050 per metrik ton. Sementara, harga tembaga melemah 0,52% ke level US$ 6.660 per metrik ton.

Harga nikel ditutup melorot paling dalam yaitu sebesar 1,82% menjadi US$ 12.950 per metrik ton. Harga timah juga ikut turun sebesar 1,14% ke level US$ 2.341 per metrik ton.

Sebagaimana diketahui, Presiden AS Donald Trump telah meneken memorandum pengenaan tarif impor produk China bernilai US$ 60 miliar. China merespons dengan aksi balasan. Jumat (23/3), China mengumumkan bakal ikut mengenakan tarif impor pada produk AS mulai dari baja hingga daging babi dengan nilai perdagangan mencapai US$ 3 miliar.

Selain sentimen dari perang dagang AS-China, menurut Ibrahim, pasar juga tengah merespons rilis data penjualan properti China yang tumbuh melambat. Sepanjang Januari sampai Februari lalu, penjualan properti di China cuma tumbuh 4,1%, lebih rendah dari 7,7% pada periode yang sama di 2017.

"Ini sempat membuat pasar agak khawatir. Tapi, data perekonomian China yang lain mementahkannya, seperti indeks manufaktur China yang bulan lalu naik," kata Ibrahim.

Meski begitu, Ibrahim menilai, penurunan harga logam industri saat ini masih wajar. Ia optimistis harga komoditas akan kembali menguat selepas sentimen negatif jangka pendek ini mereda.

Pasalnya, tahun ini, China telah memastikan bakal menggelontorkan US$ 1,6 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Sejalan dengan itu, pertumbuhan ekonomi China juga diprediksi bisa mencapai 7% .

Sinyal optimisme perekonomian juga datang dari Eropa dan Jepang. Intinya, secara keseluruhan, ekonomi global diprediksi masih akan terus tumbuh. "Dengan begitu, harga logam industri bisa normal lagi karena permintaan masih akan tinggi," ujar Ibrahim.

Sepekan ke depan, Ibrahim memproyeksi harga logam industri memang masih akan tertekan sentimen perang dagang AS-China. Untuk Senin (26/3), ia memperkirakan harga aluminium akan berada di kisaran US$ 2.000-2.085 per metrik ton.

Sementara, harga nikel diprediksi dalam rentang US$ 13.000-13.195 per metrik ton, sedangkan tembaga bergerak US$ 6.500-6.700 per metrik ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×