Reporter: Dityasa H Forddanta, Dea Chadiza Syafina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Saat ini, China sedang mengetatkan ikat pinggang dalam menggelontorkan likuiditas perbankannya. Hal ini tentunya berpotensi untuk mempengaruhi kondisi pasar modal dunia.
Namun, Danny Eugene, analis Mega Capital memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, terlalu dini jika menyimpulkan dampak dari kebijakan pengetatan likuiditas People's Bank of China (PBoC) itu. Soalnya, apa yang terjadi di China adalah pemberian pinjaman yang oleh beberapa pihak justru tidak diinvestasikan ke sektor produktif.
"Ini yang dinamakan shadow banking. Padahal yang benar itu kredit disalurkan untuk sektor produktif, tapi ini enggak jelas disalurkan ke mana. Praktek ini terjadi karena tidak semua perusahaan memiliki akses untuk melakukan pinjaman ke bank. Andai mereka dapat pinjaman, bunganya pun tinggi, 28%-45%," jelas Danny kepada KONTAN, Kamis (27/6).
Jika memang ada dampak terkait krisis likuiditas ini, dampak tersebut hanya berdampak signifikan kepada perusahaan-perusahaan di China. Mereka menjadi lebih sulit berekspansi. Otomatis, hal ini membuat pertumbuhan ekonomi melambat. Kondisi itu menyebabkan perusahaan yang bersangkutan lebih memilih untuk menahan permintaan ekspornya. Jadi, menurut Danny, Indonesia khususnya perusahaan eksportir lokal memang terkena imbasnya, tapi tidak secara langsung.
Lebih jauh Danny menjelaskan, meski dampak ke faktor finansial belum terlihat, tapi kekhawatiran akan penurunan ekspor memang ada. Pasalnya, selama ini, China menjadi tujuan ekspor utama untuk komoditas. Tapi, sekali lagi ini dampak secara tidak langsung. Sebab sistem finansial China tidak terlalu terbuka terhadap asing. Pasar modal China juga membatasi kepemilikan modal asingnya. "Jadi, dampaknya secara langsung justru terjadi di sektor riil," pungkasnya.
Permainan bank sentral maju
Pengamat pasar modal, Yanuar Rizky, memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan Danny. Menurutnya, dampak yang terjadi nanti itu dalam batas kewajaran, tapi kewajaran karena terbiasa.
Maksudnya, likuiditas ini merupakan salah satu bagian dari permainan The Fed, PBoC, BOJ, dan ECB sebagai bank sentral negara maju. Mereka terus mencari duit dari selisih operasi moneternya. Dengan kata lain, mereka menjadi bandar likuiditas di pasar finansial.
"Jadi wajar saja jika terus ada selisih. Mereka menggunakan isu besar seperti krisis likuiditas China untuk menaikan atau menurunkan pergerakan pasar. Sementara ketidakwajaran yang dilakukan berulang-ulang menjadi wajar, kan?" tukas Yanuar.
Masih menurut Yanuar, krisis likuiditas ini memiliki dampak langsung terhadap negara-negara berkembang yang pasar keuangannya dikuasai asing, tak terkecuali Indonesia. Pasalnya, sebagian barang konsumsi lokal berasal dari impor. Sementara masyarakat lokal yang bermain dalam pasar uang lokal jumlahnya tidak lebih dari 1%. Pasar uangnya meriah tapi pemainnya sedikit, jadi ujung-ujungnya pemain lokal yang menyerap biaya moneter untuk menekan inflasi.
Kebetulan, Indonesia merupakan negara di kawasan ASEAN yang sangat terbuka dengan duit-duit asing. Filipina juga memiliki sifat serupa. "Artinya, dua negara ini yang mendapat pukulan paling keras dari krisis likuiditas China," pungkas Yanuar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News