Reporter: Olfi Fitri Hasanah | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Penerbitan obligasi kian membanjiri pasar. Baik yang diterbitkan oleh pemerintah maupun korporasi.
Pasca kenaikan peringkat utang Indonesia oleh Standard and Poor's, ditambah dengan tren penurunan suku bunga, pelaku pasar terutama korporasi menilai tahun ini sebagai momentum yang tepat untuk menerbitkan obligasi.
Merujuk data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) hingga Selasa (13/6), realisasi penerbitan obligasi korporasi sudah mencapai Rp 46,4 triliun. Belum lagi, realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang sebesar Rp 379,62 triliun.
Fixed Income Fund Manager Ashmore Asset Management Indonesia, Anil Kumar mengatakan, melimpahnya pasokan obligasi di pasar, baik yang diterbitkan pemerintah maupun korporasi menandakan tingginya minat investor di pasar.
Ia menegaskan, setiap jenis obligasi memiliki segmentasi pasar masing-masing. Namun, secara keseluruhan, tingginya minat investor terhadap obligasi saat ini didorong akan adanya tren penurunan suku bunga.
Sehingga investor mencari alternatif investasi yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dari instrumen lain seperti deposito. Dalam hal ini, obligasi korporasi berperan menjembatani kebutuhan perusahaan dengan investor yang tengah mencari alternatif instrumen investasi tersebut.
"Obligasi menggantikan bank sebagai jembatan berinvestasi di tengah tren penurunan suku bunga," jelasnya.
Ada beberapa variabel yang saat ini menjadi pertimbangan investor dalam memilih obligasi. Pertama, rating yang tersemat di masing-masing obligasi. Semakin baik peringkat surat utangnya, maka semakin tinggi juga minat investor.
Kedua, persepsi risiko dari pihak yang menerbitkan surat utang. Obligasi pemerintah memiliki penjaminan dari pemerintah. Sementara, obligasi korporasi akan sangat tergantung pada performa perusahaan yang menerbitkan.
"Tidak lupa, setiap investor pun memiliki kriteria masing-masing dalam memilih obligasi, termasuk tingkat kupon yang ditawarkan" tambahnya.
Ia mencontohkan, jika ada dua perusahaan dengan rating sama idAAA, yang satu menawarkan kupon 7,5% dan satunya lagi 6,9%, otomatis investor akan memburu obligasi berkupon 6,9%. Lalu, jika ada dua perusahaan yang menawarkan kupon serupa, maka akan dilihat pihak penerbitnya dan ditimbang besaran risikonya.
Kendati demikian, Anil menilai jumlah ketersediaan obligasi di pasar sejauh ini tetap seimbang dengan permintaan investor.
"Sepertinya tidak akan ada canibalism antara obligasi pemerintah, obligasi BUMN, dan obligasi swasta. Semuanya punya pasar masing-masing," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News