Reporter: Rashif Usman | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana pemberlakuan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (CBDK) kembali bergulir.
Pemerintah bersama parlemen telah mencapai kesepakatan bahwa kebijakan ini akan mulai diberlakukan pada tahun 2026. Kendati demikian, besaran tarif cukai untuk MBDK masih belum ditetapkan secara detail.
Nah, kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak langsung pada sejumlah emiten, terutama bagi perusahaan di sektor makanan dan minuman.
Research Analyst Henan Sekuritas Tristan Elfan Zulvanian mengatakan efek penerapan cukai MBDK ke emiten akan sangat bergantung pada cakupan produk dan besaran tarif final, yang hingga kini masih dibahas pemerintah dan DPR.
Baca Juga: BEI Suspensi Saham Indokripto Koin Semesta (COIN), Begini Saran Analis
Pemerintah menargetkan implementasi pada 2026, dengan rancangan cukai berbasis ambang batas kadar gula per liter. Namun, belum ada kejelasan apakah produk berbasis susu atau malt akan ikut dikenakan, seperti di Malaysia atau dikecualikan seperti di Filipina.
Hal ini penting karena dapat menentukan tingkat paparan bagi emiten seperti PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) dan PT Cisarua Mountain Dairy Tbk (CMRY).
Bagi emiten dengan portofolio usaha yang lebih terdiversifikasi dan tidak terlalu bergantung pada penjualan minuman berpemanis, dampak kebijakan ini cenderung lebih terbatas.
Contohnya, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang sebagian besar ditopang oleh segmen mi instan (74,4%) serta CMRY yang mendapat kontribusi utama dari consumer food (65%). Keduanya juga memiliki kapabilitas riset dan pengembangan (R&D) berkelanjutan, sehingga mampu melakukan reformulasi produk menyesuaikan aturan.
Sebaliknya, emiten dengan porsi lebih besar pada minuman mass-market seperti PT Kino Indonesia Tbk (KINO) atau ULTJ berpotensi menghadapi margin squeeze atau penyesuaian harga lebih agresif jika tarif cukai tinggi dan konsumen menolak kenaikan harga.
"Dengan demikian, diversifikasi bisnis dan kesiapan inovasi produk menjadi faktor kunci untuk menilai ketahanan masing-masing emiten," kata Tristan kepada Kontan, Selasa (26/8).
Tekan Industri
Tristan juga menambahkan dalam kondisi ekonomi saat ini, penerapan cukai MBDK berpotensi menambah tekanan pada sektor yang justru sedang mengalami pelemahan, khususnya industri susu dan minuman.
Seperti terlihat pada kinerja ICBP di paruh pertama tahun 2025. Terilihat, segmen dairy turun -3% YoY dan beverages turun -12% YoY, sejalan dengan tren pelemahan permintaan serta terbatasnya pemulihan daya beli konsumen.
Di tengah situasi tersebut, pengenaan cukai manis pada 2026 dapat menekan margin produsen sekaligus memperlambat pemulihan konsumsi, karena produsen sulit melakukan penyesuaian harga secara agresif tanpa mengorbankan volume.
"Oleh karena itu, meskipun kebijakan ini sejalan dengan tujuan fiskal dan kesehatan jangka panjang, waktu penerapannya dapat diperdebatkan mengingat risiko tambahan terhadap daya saing industri minuman dan tekanan konsumsi rumah tangga yang masih berlangsung," tambah Tristan.
Tristan juga menyarankan agar investor sebaiknya lebih selektif dalam mencermati emiten konsumer, dengan memperhatikan tingkat diversifikasi portofolio dan kesiapan reformulasi produk.
Dalam situasi ini, strategi yang bijak adalah melakukan rotasi portofolio ke saham konsumer yang memiliki struktur bisnis lebih defensif dan daya serap pasar yang kuat, sembari menunggu kejelasan final tarif dan cakupan cukai yang akan ditetapkan pemerintah menjelang implementasi 2026.
Dihubungi terpisah, Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Abdul Azis Setyo Wibowo, menilai kenaikan cukai berpotensi menambah beban biaya bagi emiten yang menjual minuman berpemanis.
Untuk menjaga stabilitas penjualan, perusahaan dapat mengambil sejumlah langkah, seperti menghadirkan produk dengan kadar gula lebih rendah, menyesuaikan harga jual, atau menekan biaya lainnya, misalnya melalui pengurangan ukuran kemasan. Namun, dampak akhirnya tetap bergantung pada besaran tarif yang ditetapkan.
"Jika memang tarif cukai sangat tinggi maka hal ini bisa pengaruh ke daya beli dan menurunkan kinerja top line dan bottom line," ujar Azis kepada Kontan, Selasa (26/8).
Rekomendasi Saham
Dengan pergeseran portofolio menuju consumer foods serta potensi produk berbasis susu untuk dikecualikan dari MBDK, Tristan berpandangan CMRY berada pada posisi lebih defensif. Secara teknikal, Tristan merekomendasikan strategi buy on weakness dengan entry price Rp 4.820–Rp 4.850, target harga Rp 5.050–Rp5.100, serta stop loss Rp 4.600–Rp 4.610.
Adapun Azis menyarankan buy saham SIDO di target harga Rp 595 per saham.
Baca Juga: MBG dan Bansos Tak Berdampak Langsung pada Penjualan Mayora Indah (MYOR)
Selanjutnya: Kusuma Kemindo (KKES) Kejar Perbaikan Kinerja, Fokus Membalikkan Rugi Jadi Laba
Menarik Dibaca: Promo Sociolla Payday Rewards 25-31 Agustus 2025, Hair Dryer-Serum Diskon hingga 60%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News