Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) berencana menghentikan ekspor minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) sebagai bagian dari rencana hilirisasi industri sawit. Sebagai gantinya, CPO harus diolah terlebih dahulu menjadi produk bernilai tambah, seperti kosmetik, mentega, dan biodiesel.
Menanggapi rencana ini, Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) Santosa menyambut positif komitmen pemerintah yang serius menggarap dan mendukung perkembangan industri sawit nasional. Secara strategis, Santosa sangat setuju dengan pemerintah yang menginginkan sumber daya alam Indonesia dapat dikuasai dan diolah di dalam negeri sehingga nilai tambah terbesar tetap dinikmati oleh Indonesia.
Akan tetapi, secara pragmatis, pemerintah juga perlu memperhitungkan kondisi pasar dan daya saing Indonesia sehingga target hilirisasi tergolong realistis. "Sampai titik mana kita bisa kompetitif sehingga menghasilkan nilai tambah, bukan justru merusak kekuatan yang sudah kita miliki dengan subsidi atau dumping yang justru bisa jadi bumerang di era perdagangan bebas," tutur Santosa kepada Kontan.co.id, Jumat (5/11).
Baca Juga: CPO terus menanjak hingga akhir tahun, harga minyak goreng berpotensi terus mendaki
Menurut data yang Santosa miliki, saat ini, ekspor CPO murni hanya kurang dari 30% dibanding keseluruhan ekspor sawit Indonesia. Sebagian besar ekspor sawit negara ini, yakni hampir 70% sudah berbentuk produk olahan alias turunan dari CPO.
Contohnya adalah refined, bleach, deodorized palm oil (RBDPO) yang merupakan produk setengah olah dari CPO, lalu olein yang menjadi bahan dasar minyak goreng, stearin sebagai bahan dasar margarin, palm fatty acid distillate (PFAD) sebagai bahan dasar kosmetik, pembersih, dan sabun, serta palm kernel oil (PKO) sebagai substitusi minyak kelapa.
Sebagai perusahaan, AALI juga sudah memiliki fasilitas kilang minyak (refinery) untuk mengolah CPO sebelum dijual di pasar, baik domestik maupun ekspor. Sebagian besar produk yang AALI jual ke pasar ekspor juga merupakan olahan CPO, seperti RBDPO, olein, stearin, PFAD, dan PKO. Saat ini komposisi ekspor AALI mencakup 45%-50% dari total penjualan.
Baca Juga: Kabar baik, ekspor sawit, emas, sampai kopi ke Eropa bebas bea masuk mulai 1 November
Akan tetapi, untuk mewujudkan pengembangan segmen hilir secara lebih jauh, AALI masih akan melihat kebutuhan pasar, setidaknya 3-5 tahun ke depan. Pasalnya, dalam kurun waktu tersebut, Santosa melihat kapasitas produksi refinery, oleokimia, dan biodiesel di Indonesia masih cukup, bahkan cenderung berlebih.
Sebagai contoh, kapasitas produksi biodiesel nasional saat ini adalah sekitar 16 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan nasional untuk program B30 hanya sekitar 9,5 juta ton per tahun dalam kondisi normal. Kondisi pandemi memungkinkan kebutuhan biodiesel lebih rendah lagi. "Hal-hal seperti inilah yang selalu jadi pertimbangan kami, para pelaku bisnis, untuk memutuskan perlu tidaknya membangun kapasitas baru," ucap Santosa.
Sementara itu, kalau visi hilirisasi industri sawit yang dimaksud pemerintah adalah sampai produk akhir berupa barang konsumsi retail, maka bisnis modelnya sangat berbeda dengan industri sawit saat ini. Mengingat, bisnis barang konsumsi retail cenderung fokus pada distribusi produk dan persaingan merek.
Jenis produk dan target pasarnya juga akan sangat beragam. Kalau produk-produk jadi ini ingin merambah pasar ekspor, maka para pengusaha perlu studi pasar yang lebih matang terkait diferensiasi produk dan harga dengan produk existing yang sudah ada di negara tujuan.
Baca Juga: Pemerintah berencana larang ekspor CPO demi hilirisasi, ini prospeknya menurut analis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News