Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar saham dan obligasi bergerak volatil selama Juni 2024. Ketidakstabilan pasar dinilai masih dapat berlanjut seiring transisi pemerintahan baru hingga arah baru kebijakan suku bunga acuan.
Investment Specialist Schroders Indonesia Rizky Hidayat mengatakan, kondisi pasar keuangan di bulan Juni awalnya cukup volatil. Hal itu disebabkan oleh rumor mengenai pemerintahan baru yang berpotensi meningkatkan rasio Debt to GDP menjadi 50% dari sebelumnya sekitar 40%.
“Isu ini menekan rupiah. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah juga menekan pasar saham dan obligasi,” ungkap Rizky dalam riset yang dibagikan, Senin (15/7).
Rizky melanjutkan, pasar kemudian mulai menguat di pertengahan bulan Juni setelah adanya kejelasan lebih lanjut mengenai defisit fiskal. Dimana pemerintahan baru menegaskan masih akan menjaga defisit fiskal di bawah level 3%.
Baca Juga: Pelaku Pasar Antisipasi Kuatnya Dolar hingga Emas Usai Trump Ditembak
Pasar kembali pulih setelahnya dan investor memburu nama-nama saham blue chip. Adapun di bulan Juni, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kenaikan sebesar +1,33% MoM dengan aliran keluar dana asing sebesar Rp1,5 triliun.
Meski demikian, investor asing masih bersikap wait and see karena perkembangan terkini di Indonesia mendorong mereka untuk lebih berhati-hati karena sementara ini terjadi transisi dari pemerintahan saat ini ke pemerintahan baru.
Selain itu, pasar ekuitas global secara keseluruhan berubah menjadi risk-off pada kuartal kedua 2024 karena ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan ketidakpastian kebijakan Federal Reserve (the Fed).
Namun dalam jangka panjang, meskipun terjadi gejolak pasar baru-baru ini, investor asing dianggap masih memiliki harapan dan sikap positif terhadap Indonesia walau mereka masih menunggu dan melihat selama masa transisi pemerintahan.
Schroders berpendapat bahwa ekuitas Indonesia saat ini diperdagangkan pada valuasi yang layak pada 12-13x PE 2024 yang merupakan diskon dibandingkan dengan negara sejenis seperti AS, Jepang, atau bahkan India.
Arus masuk ke Tiongkok terpantau juga sudah mulai berkurang seiring dengan kenaikan valuasi, sementara secara fundamental, pemulihan ekonomi Tiongkok masih lamban. Sementara itu, valuasi saham mahal di negara-negara Asia lainnya seperti India, Taiwan, dan Jepang.
“Kami melihat pasar saham masih cukup murah secara valuasi, pasca pelemahan di April hingga awal Juni. Namun demikian, dalam jangka pendek, masih ada faktor volatilitas terutama selama masih dalam masa transisi saat ini ke pemerintahan baru,” ucap Rizky.
Dari sisi valuasi, tingkat suku bunga IndoGB tenor 10 tahun sebesar 7,05% dalam basis absolut mulai terlihat kembali menarik. Namun, jika dibandingkan dengan tingkat suku bunga US Treasury tenor 10 tahun, selisih yield sebesar 265bps masih terhitung mahal, dengan melihat bahwa rata-rata lima tahun terakhir berada dalam kisaran yang lebih lebar, yaitu sebesar 480bps.
Baca Juga: Upaya Pembunuhan Donald Trump Angkat Harga Dolar AS, Emas dan Aset Kripto
Kabar positifnya, Federal Reserve (the Fed) telah mengindikasikan bahwa suku bunga di Amerika Serikat telah mencapai puncaknya dan langkah mungkin berikutnya adalah pemotongan suku bunga. Bank Indonesia (BI) kemungkinan juga akan mampu memangkas suku bunganya dan mendukung pasar obligasi.
Adapun di bulan Juni, yield obligasi global terus turun dengan beberapa perbaikan dalam inflasi Amerika Serikat, meskipun Fed mengambil sikap yang lebih hawkish dalam dot plot-nya dengan mengurangi pemotongan suku bunga sebesar 25bps dari 75bps pada tahun 2024.
Menurut Rizky, pasar surat utang kemungkinan masih akan bergerak volatil. Asing akan masuk bila yield SUN naik ke 7,5% selagi itu mereka masih bersikap wait and see dan menjadi defensif.
Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Laras Febriany mencermati, perubahan ekspektasi suku bunga global, pelemahan Rupiah, dan sentimen terkait outlook fiskal telah menekan pasar obligasi Indonesia pada Juni 2024. Namun demikian, peluang valuasi terlihat menarik di pasar obligasi Indonesia.
“Saat ini selisih imbal hasil obligasi pemerintah dan UST berada pada level tertinggi dalam satu tahun terakhir, menciptakan potensi investasi menarik di siklus akhir menjelang pemangkasan suku bunga,” imbuh Laras dalam siaran pers, Kamis (11/7).
Laras memaparkan, jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia, selisih imbal hasil obligasi Indonesia menjadi yang tertinggi, bahkan di atas India. Ditambah lagi, CDS 5 tahun yang menggambarkan persepsi risiko bagi investor untuk berinvestasi di Indonesia sudah terlihat stabil.
Oleh karena itu, Manulife Aset melihat pasar obligasi tetap memiliki potensi, terutama jika inflasi AS turun dengan stabil sehingga FFR dapat diturunkan tahun ini, diiringi dengan stabilisasi Rupiah.
“Kami melihat skenario ini bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Berikutnya, kejelasan tentang outlook fiskal, anggaran APBN, dan kabinet ekonomi pemerintahan baru dapat menciptakan tambahan katalis bagi pasar obligasi ke depannya,” kata Laras.
Di tengah kondisi pasar yang masih bergejolak dan sensitif terhadap perubahan sentimen baik dari global maupun domestik, tingkat risiko portofolio sangat penting untuk dijaga oleh investor. Menerapkan diversifikasi pada portofolio investasi dapat menjadi salah satu strategi bagi investor dalam menjaga tingkat risiko investasi.
Menurut Laras, reksadana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi. Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk mengunci yield di level yang menarik dan juga dapat menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai beranjak turun.
“Kami melihat potensi pemangkasan suku bunga di tahun 2024 ini masih dapat terjadi, tentunya didukung dengan makroekonomi yang kuat serta rupiah yang stabil,” pungkas Laras.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News