Sumber: Bloomberg | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pasar finansial Indonesia terguncang pada transaksi awal pekan, Senin (19/8). Beberapa indikator yang menunjukkan hal itu dapat dilihat dari pergerakan rupiah dan pasar saham di Bursa Efek Indonesia.
Asal tahu saja, rupiah sejak transaksi pagi tadi terus melemah. Pada pukul 13.12, nilai tukar rupiah di pasar spot menunjukkan posisi 10.559. Ini merupakan level rekor terlemah rupiah dalam empat tahun terakhir atau Juni 2009.
Jika ditotal, sepanjang kuartal ini, pelemahan rupiah mencapai 5,4%. Kondisi ini menjadikan rupiah sebagai mata uang dengan performa terburuk di antara 11 mata uang utama Asia yang paling sering diperdagangkan.
Di pasar non deliverable forwards (NDF), nilai tukar rupiah di pasar spot lebih premium 1,9% dari harga kontrak NDF rupiah untuk pengantaran satu bulan ke depan yang siang ini melemah 1,1% menjadi 10.961 per dollar AS.
Setali tiga uang, pasar saham juga mendapat tekanan serupa. Pada penutupan sesi I siang ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sesi I ditutup turun 175,34 poin atau tumbang 3,84% menjadi 4.393,30. Tercatat ada 261 saham yang rontok, hanya 15 saham naik dan 36 saham diam tak bergerak.Sampai jeda makan siang, ada 2.180,09 miliar saham yang ditransaksikan dengan nilai Rp 3.094,42 triliun. Semua sektor berada di zona merah, yang dipimpin oleh sektor industri lainnya yang turun 5,00%.
Tidak hanya itu, jumlah dana asing yang terbang dari IHSG sudah mencapai Rp 905 miliar di paruh pertama transaksi perdagangan!
Pasar obligasi juga memberikan sinyal merah. Tingginya risiko menyebabkan investor menuntut tingkat yield yang tinggi untuk obligasi pemerintah yang ditawarkan. Berdasarkan data yang dihimpun Bloomberg, tingkat yield untuk obligasi pemerintah berjangka waktu 10 tahun melonjak ke posisi tertinggi sejak Maret 2011.
Kenaikan yield obligasi memang sudah dimulai sejak dirilisnya data defisit neraca perdagangan Indonesia senilai US$ 9,8 miliar, terbesar sejak 1989.
"Perekonomian Indonesia menunjukkan data negatif secara bertahap yang menunjukkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, peningkatan inflasi, dan pembengkakan defisit neraca perdagangan," papar Leo Rinaldy, ekonom PT Mandiri Sekuritas kepada Bloomberg.
Dia menilai, implikasi dari sejumlah faktor tersebut ke depannya adalah peningkatan permintaan dollar AS.
Pendapat senada diungkapkan oleh John Rachmat, head of equities research and strategy Mandiri Sekuritas di Jakarta. "Semua ini disebabkan oleh data defisit neraca perdagangan," jelas John.
Namun, John berpendapat, pada saat rupiah dianggap murah, arus dana asing akan kembali masuk ke Indonesia. "Saat ini, investor asing merasa cemas untuk berinvestasi di Indonesia," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News