Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Mata dunia saat ini sedang tertuju pada kerusuhan berdarah di Mesir. Sepintas, kisruh ini tidak memiliki dampak apa pun terhadap sektor migas, khususnya di Indonesia. Namun, di Mesir ada terusan Suez yang merupakan salah satu jalur utama pendistribusian minyak dunia.
Setiap hari, 2,5 juta barel atau sekitar 2,7% pasokan minyak mentah didistribusikan melalui terusan Suez. Kondisi inilah yang menjadi kekhawatiran pelaku pasar yang kemudian mempengaruhi harga kontrak minyak di berjangka.
Tengok saja harga minyak di West Texas Intermediate (WTI), harga minyak untuk pengiriman September naik 13 sen menjadi US$107,46 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara di London, harga minyak mentah Brent North Sea pengiriman Oktober ditutup di harga US$110,4 per barel, atau naik 94 sen.
Wilson Sofan, Kepala Riset Reliance Securities menilai, sentimen itu pastinya memiliki pengaruh terhadap sektor migas di Indonesia. "Harganya saja sudah sedikit naik, kan," imbuhnya, Senin (19/8).
Namun, lanjut Wilson, perlu diingat, efek substitusi antara minyak dan batubara. Harga minyak yang naik membuat psikologis konsumen memilih sumber energi yang lain, dalam hal ini batubara yang pada akhirnya juga akan meningkatkan harga batubara.
Biasanya, harga minyak lokal baru naik sepekan setelah pengumuman harga WTI. Jika asumsi substitusi benar terjadi, maka barulah harga batubara terkerek naik. Kendati demikian, Wilson tidak merekomendasikan saham-saham emiten batubara mengingat sentimen negatif sektor ini lebih kuat dibanding potensi kenaikan harga karena efek substitusi tersebut. "Sementara ini, saya tidak rekomendasikan saham emiten batubara dan CPO," tukasnya.
Bertrand Raynaldi, Kepala Riset eTrading Securities memberikan pandangan senada. Sentimen Mesir turut memberikan sentimen terhadap harga minyak. "Tapi, kenaikannya tidak se-signifikan dengan beritanya," tambahnya.
Nah, jika mengacu pada hal itu, maka Bertrand menyimpulkan, kisruh Mesir tidak akan mengganggu sektor migas yang sahamnya ada di daftar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Lagipula, emiten migas di Indonesia saat ini cenderung lebih banyak memproduksi gas dibanding minyak. Sementara, harga gas sendiri juga tidak se-volatile harga minyak, karena kontrak gas untuk long term, bisa sekitar 20 tahun atau 25 tahun.
Market cap sektor migas juga tidak sebesar sektor yang lain seperti keuangan dan konsumer. Jika ditinjau lebih spesifik, saham PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) menjadi salah satu saham dengan market cap terbesar di sektornya.
Tapi, MEDC sekarang juga lebih banyak produksi gas dibanding minyak. Tapi, pertumbuhan MEDC kurang menarik. Likuiditasnya juga sudah kurang lincah. "Jadi, sentimen dari Mesir tidak punya pengaruh signifikan terhadap IHSG," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News