Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Nilai tukar rupiah semakin hari semakin loyo. Bahkan kemarin, rupiah nyaris kembali menyentuh posisi terendahnya. Dalam sesi perdagangan pagi, rupiah sempat anjlok hingga Rp 10,126 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sebagai catatan, 10 Oktober 2008 lalu nilai rupiah sempat jatuh ke Rp 10.130 per dolar AS. Ini titik terendah sejak November 2005. Sampai pukul 21.36 WIB kemarin, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 10.010 per dolar AS. Artinya, selama 6 bulan terakhir, rupiah anjlok sekitar 8,24%.
Maklum saja, belakangan ini memang banyak sentimen negatif yang mengerubungi rupiah. Aliran dana asing yang keluar dari Indonesia masih terus bertambah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Depkeu, per 21 Oktober lalu kepemilikan asing di Surat Utang Negara tinggal Rp 97,31 triliun, turun 7,75% dibanding posisi di awal bulan.
Sementara di bursa saham, kemarin asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) sebesar Rp 215,07 miliar. Investor asing memilih melepas posisinya di pasar saham karena kekhawatiran terhadap risiko investasi di emerging market makin meningkat.
Sementara, pemerintah bilang pertumbuhan ekspor tahun depan bakal menurun. Pertumbuhan ekspor Indonesia tahun 2009 hanya akan mencapai 11,9%. Padahal, tahun ini ekspor Indonesia diperkirakan naik sekitar 12,5%. "Hal itu memperparah kondisi rupiah," keluh Suriyanto Chang, Kepala Divisi Tresuri Bank NISP, kemarin.
Salah kaprah
Repotnya lagi, tingkat suku bunga Indonesia saat ini masih tinggi. Maklum, saat bank sentral dari negara lain beramai-ramai menurunkan tingkat suku bunga, Bank Indonesia malah menaikkan BI rate menjadi 9,5%. Akibatnya, "Situasi pasar menjadi bingung, dan akhirnya memicu investor keluar," kata Heru Helbianto, Associate Director Head of Debt Sale Trimegah Securities.
Para analis menilai saat ini intervensi BI untuk menjaga nilai tukar rupiah dengan menggunakan suku bunga sudah tidak lagi efektif. Maklum saja, pelaku pasar saat ini tidak lagi melihat perbedaan suku bunga (interest rate differential) sebagai sesuatu yang penting. Alasannya, saat ini pasar lebih membutuhkan likuiditas.
Para pengusaha, khususnya yang bergerak di bidang ekspor dan impor, juga turut panik mengoleksi dolar AS. "Mereka ingin melindungi kewajiban dan utangnya dalam bentuk dolar, agar tidak rugi," jelas Farial Anwar, Direktur Currency Management Group.
Alhasil, nilai tukar rupiah sulit menguat ke bawah Rp 9.800 per dolar AS. "Setiap kali rupiah menguat ke bawah Rp 9.800, orang-orang akan kembali membeli dolar," tutur Gundy Cahyadi, Ekonom IDEAglobal di Singapura kepada Bloomberg. Padahal, nilai wajar rupiah saat ini berkisar antara Rp 9.000 hingga Rp 9.150 per dolar AS.
Farial memperkirakan sampai akhir tahun rupiah akan bergerak di kisaran Rp 9.800 hingga Rp 10.000 per dolar AS. Pasalnya, tidak ada sentimen positif yang bisa mendorong rupiah menguat.
Dus, para analis menyarankan sebaiknya BI mengikuti langkah bank sentral negara lain memangkas suku bunganya. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya fokus menjaga bursa saham. Sebab, keluarnya investor asing dari pasar saham menimbulkan tekanan besar pada rupiah.
Analis juga mengatakan investor tidak perlu panik rupiah akan jatuh dalam. Sebab, BI masih memiliki cadangan devisa US$ 56,5 miliar. "Selama cadangan devisa di atas US$ 50 miliar kita masih aman," ujar Willing Bolung, Head of Market Treasury ANZ Panin Bank.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News