CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.527.000   14.000   0,93%
  • USD/IDR 15.675   65,00   0,41%
  • IDX 7.287   43,33   0,60%
  • KOMPAS100 1.121   3,73   0,33%
  • LQ45 884   -2,86   -0,32%
  • ISSI 222   1,85   0,84%
  • IDX30 455   -2,30   -0,50%
  • IDXHIDIV20 549   -4,66   -0,84%
  • IDX80 128   0,06   0,05%
  • IDXV30 138   -1,30   -0,94%
  • IDXQ30 152   -0,90   -0,59%

Negara Berkembang Hadapi Tekanan dari The Fed, Sektor Saham-Saham Ini Menarik Dilirik


Rabu, 26 Januari 2022 / 08:05 WIB
Negara Berkembang Hadapi Tekanan dari The Fed, Sektor Saham-Saham Ini Menarik Dilirik


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar negara berkembang, termasuk Indonesia diprediksi akan menghadapi tantangan dalam jangka pendek akibat kebijakan pengetatan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed. Hal ini diungkapkan oleh Direktur PT Batavia Prosperindo Aset Manajemen Eri Kusnadi dalam acara BizInsight dengan topik :Strategi Investasi di 2022" yang berlangsung secara virtual, Selasa (25/1).

Sebagaimana diketahui, The Fed berencana menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 2-3 kali pada tahun 2022. The Fed juga mempercepat penyelesaian kebijakan pengurangan pembelian obligasi (tapering), dari pertengahan tahun 2022 menjadi dimajukan ke Maret 2022.

Menurut Eri, kebijakan pengetatan moneter oleh The Fed biasanya akan memberi tekanan ke nilai tukar dan yield obligasi negara berkembang. Dengan begitu, hal ini akan turut mempengaruhi pasar investasi secara keseluruhan, terutama di aset kelas obligasi dan saham.

Sentimen lain untuk pasar negara berkembang berasal dari China yang kini lebih menginginkan kualitas dibanding kuantitas pertumbuhan ekonomi. Alhasil, pertumbuhan ekonomi China tahun 2022 diprediksi akan berada di angka yang moderat sehingga pertumbuhan ekonomi negara maju berpotensi berada di atas negara berkembang.

Baca Juga: Tekanan IHSG Masih Berat, Cermati Saham-Saham Berikut

Tak ketinggalan, kemampuan negara-negara berkembang dalam menghadapi pandemi Covid-19 juga masih menjadi perhatian pelaku pasar. Mengingat, penyebaran Covid-19 yang tak terkendali dapat memicu diberlakukannya kembali karantina wilayah yang pada akhirnya dapat memukul prospek perekonomian.

Meskipun begitu, menurut Eri, banyak sekali indikator dari dalam negeri yang dapat menjadi penyokong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih lagging pada 2021 memberikan ruang untuk tumbuh lebih optimal di tahun ini, sedangkan negara lain akan mulai mengalami normalisasi pada 2022.

Kedua, pemerintah Indonesia terus menjalankan program vaksinasi untuk memperkuat daya tahan masyarakat menghadapi pandemi Covid-19 yang masih melanda. Pemerintah juga sudah mulai memberikan vaksin booster untuk wilayah-wilayah padat penduduk, padat aktivitas ekonomi, dan sudah mendapatkan vaksinasi tahap I dan tahap 2.

Ketiga, berbagai kebijakan dan manuver Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia dinilai menghasilkan kondisi makro prudential yang cukup baik. "Hal ini terlihat dari inflasi yang rendah dan cadangan devisa yang tinggi sehingga menghasilkan kinerja rupiah yang cukup baik," ungkap Eri Selasa (25/1).

Keempat, perekonomian Indonesia juga akan mendapat dorongan tambahan dari sektor new economy (perusahaan teknologi) yang masih akan mengundang masuknya investasi, terutama dari private equity. Dana investasi tersebut kemungkinan akan digunakan untuk aktivitas promosi yang pada akhirnya dapat membantu bergulirnya sektor riil.

Baca Juga: IHSG Lesu, Sentimen Ini yang Memberatkan

Eri mencatat, investment agreement antara private equity dengan perusahaan new economy pada tahun 2020 mencapai 437 kesepakatan dengan nilai pendanaan US$ 4,4 miliar. Kemudian, dalam kurun waktu enam bulan di tahun 2021, investment agreement yang tercipta sudah mencapai 300 kesepakatan dengan nilai pendanaan US$ 4,7 miliar.

Portofolio investasi

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi lebih tinggi, Eri melihat instrumen investasi saham menjadi yang paling menarik untuk tahun 2022, terutama bagi pelaku pasar dengan profil risiko agresif.

Meskipun begitu, dengan adanya tekanan dari The Fed, volatilitas diprediksi masih akan tinggi sehingga pelaku pasar juga harus tetap melakukan diversifikasi.


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×