Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pergerakan yang sempit pada Kamis (15/3), harga minyak mentah diproyeksikan masih mampu menanjak. Komoditas energi ini diyakini masih berada dalam tren bullish. Bahkan lembaga internasional bertaruh harganya mampu menyentuh level US$ 65 per barel.
Mengutip Bloomberg, Kamis (15/3) pukul 17.50 WIB, harga minyak mentah WTI kontrak pengiriman April 2018 di Nymex menguat tipis 0,02% ke level US$ 60,97 per barel.
Goldman Sachs melilhat efek pemangkasan produksi minyak oleh Organisasi Negara-Negara Penghasil Minyak (OPEC) dan sekutunya akan mulai tampak pada kuartal III-2018. Menurut Goldman, persediaan minyak mentah global akan terus menyusut seiring dengan tingkat permintaan tahun ini yang diperkirakan mencapai 1,85 juta barel per hari.
"Persediaan global akan turun lebih rendah di bawah rata-rata lima tahun pada kuartal ketiga," ujarnya seperti dikutip dari Reuters, Kamis.
Tak hanya itu, sinyal positif juga ditunjukkan oleh perusahaan jasa keuangan Moody's Investor Service. Mereka menaikan proyeksi harga minyak mentah tahun ini, dari semula US$ 40-US$ 60 per barel menjadi US$ 45-US$ 65 per barel. Penurunan produksi OPEC yang terus berlanjut dan pertumbuhan permintaan global yang kuat dianggap mampu mendorong penguatan harga.
Namun, Deddy Yusuf Siregar, analis PT Asia Tradepoint Futures masih melihat harga minyak mentah sulit untuk mencapai level harga tersebut. Menurutnya, kemungkinan harga baru bisa menembus level US$ 65 per barel pada akhir kuartal II 2018.
“Sebenarnya kondisi sekarang harga stabil berada di atas US$ 60 per barel. Ini cukup adil untuk AS serta OPEC dan sekutunya,” paparnya.
Deddy melihat pada akhir kuartal I-2018, harga minyak masih akan mendapatkan tekanan dari rencana kenaikan suku bunga AS. Bahkan ada peluang harga bisa berada di bawah level US$ 60 per barel. Kata Deddy, baru pada kuartal II harga bisa kembali menguat.
Nizar Hilmy, analis PT Global Kapital Investama Berjangka meyakini, dengan proyeksi kenaikan permintaan pada tahun ini, masih menjadi sentimen positif yang menahan pelemahan harga. Walaupun pasar mewaspadai kenaikan produksi, tetapi itu tidak akan mengubah tren penguatan minyak mentah.
“Ketika harga naik, produsen AS menggenjot produksinya. Begitu juga sebaliknya saat harga turun, produksi dikurangi. Ini merupakan siklus yang terjadi sejak tahun 2015,” paparnya.
Terkait rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral AS, kata Niza, hanya akan menjadi sentimen sesaat. Dalam perhitungannya, harga berpeluang jatuh tidak lebih dari level US$ 58 per barel. "Dollar AS tidak akan menguat terlalu tinggi sehingga koreksi harga minyak tidak berlangsung lama," katanya.
Di akhir kuartal I-2018 pergerakan harga WTI di kisaran US$ 55-US$ 65 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News