Reporter: Namira Daufina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Konflik di Libia jadi pendongkrak utama harga minyak mentah. Senin (19/9) lalu per pukul 17.30 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman Oktober 2016 di New York Mercantile Exchange melesat 1,62% menjadi US$ 43,73 per barel. Padahal dalam sepekan harganya anjlok 5,53%.
Analis Finex Berjangka Nanang Wahyudin mengatakan, meluasnya wilayah konflik di Libia membuat pasar khawatir distribusi pasokan terganggu. Asal tahu saja, Minggu (18/9) lalu, terjadi bentrok antara Petroleum Facilities Guard Unit dengan tentara militan di bawah pasukan Khalifa Haftar.
"Kisruh terjadi di pelabuhan Ras Lanuf, salah satu pelabuhan terbesar di Libia untuk pengiriman ekspor minyak," terang Nanang. Akhirnya, kapal Seadelta yang akan mengekspor 781.000 barel minyak mentah ke Italia tertahan.
Penurunan harga minyak pekan lalu juga memicu pasar melakukan bargain hunting setelah harga sempat mendekati US$ 42,00 per barel.
Nanang menilai harga minyak hari ini (20/9) masih berpeluang naik. Ketidakpastian kebijakan suku bunga AS juga masih memberi ruang kenaikan harga minyak, meski tipis.
"Minyak akan mengejar US$ 45 per barel, jika mampu naik ke level tersebut maka tren bullish lebih terjaga," analisa Nanang.
Jika The Fed urung menaikkan suku bunga, harga minyak WTI bakal kembali terbang.
Sentimen negatif
Tapi, Research & Analyst Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menambahkan, minyak masih dibayangi katalis negatif. Pertama, laporan Baker Hughes menunjukkan rig pengeboran minyak AS bertambah dalam 12 pekan beruntun.
Pekan lalu, 416 unit rig aktif beroperasi. Kedua, spekulasi kenaikan suku bunga The Fed. "Meski peluang kenaikan kecil tapi data ekonomi, terutama inflasi, yang positif bisa menyuntikkan tenaga pada dollar AS," ujar Deddy.
Ketiga, tingginya suplai masih membebani harga. Jika kisruh di Libia terhenti, pelabuhan Ras Lanuf bisa memasok sekitar 300.000 barel minyak per hari. Tambah lagi, Nigeria berencana menggenjot produksi melalui Exxon Mobil Corp hingga 360.000 barel per hari dan melalui Royal Dutch Shell Plc sekitar 200.000 barel per hari.
Keempat, ketidakpastian hasil pertemuan negara anggota OPEC dan non OPEC. Beberapa negara memag menunjukan minat melakukan penghentian produksi sementara atawa output freeze.
"Kalau kesepakatan tercapai, harga minyak WTI akan naik ke US$ 50-US$ 55 per barel," hitung Deddy.
Tapi jika kembali gagal, harga bisa terpuruk lagi ke US$ 35-US$ 40 per barel. Dari sisi teknikal, harga minyak bergerak di bawah MA 50 dan 100, mengindikasikan penurunan lanjutan. MACD juga berada di area negatif dengan pola downtrend.
Sedang RSI level 46 masih mengindikasikan penurunan. Tapi stochastic level 20 sudah masuk area oversold dan memicu rebound terjaga. Deddy memprediksi harga minyak hari ini bergerak di kisaran US$ 42,80-US$ 45,10 per barel.
Sepekan ke depan, Prediksi Nanang, harga minyak di kisaran US$ 42,00- US$ 46,00 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News