Sumber: KONTAN | Editor: Test Test
JAKARTA. Agresif. Kata itu sangat lekat dengan perusahaan-perusahaan milik Keluarga Bakrie. Tengok saja rencana ekspansi terbaru PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk (UNSP). Melalui anak usahanya, PT Bakrie Sentosa Persada, perusahaan ini akan membentuk perusahaan patungan bersama sekitar 10 perusahaan investasi internasional. Manajemen UNSP berharap, perusahaan bernama Indogreen International ini bisa beroperasi mulai kuartal II 2008.
Kebutuhan investasi Indogreen mencapai US$ 244 juta, yang terdiri atas modal awal sebesar US$ 110 juta dan modal pengembangan usaha US$ 134 juta. Namun, UNSP hanya menyetorkan modal awal US$ 30 juta, sesuai dengan kepemilikannya di Indogreen yang hanya 31% "Sudah ada lembaga investasi asing yang siap memberi US$ 80 juta," ujar Presiden Direktur UNSP Ambono Janurianto, kepada KONTAN, pada (4/5).
Bidik lahan kosong
Lewat Indogreen, UNSP akan mengembangkan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kalimantan Tengah dan Riau seluas 50.000 hektare (ha). Berbeda dengan akuisisi Agri Resouces BV tahun lalu, kali ini, UNSP lebih memilih mengembangkan lahan yang belum ditanami.
Maklum, kata Ambono, mengakuisisi perkebunan yang sudah berproduksi membutuhkan dana besar. "Bila mengembangkan lahan baru, kami hanya membutuhkan dana US$ 5.000 per ha," imbuhnya. Tapi, UNSP harus menunggu tiga tahun untuk memanen lahan itu.
Menurut Achmad Syafriel, analis Bahana Securities, ekspansi UNSP itu akan membawa dampak baik. Ia menghitung, setiap satu hektare lahan sawit bisa menghasilkan 17 ton tandan kelapa sawit dalam setahun. Dus, dengan luas lahan 50.000 ha, setiap tahun, UNSP bisa memanen 850.000 ton kelapa sawit. Achmad memperkirakan, minimal 20% hasil panen itu bisa diolah menjadi minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO).
Alhasil, saat panen tiga tahun mendatang, produksi CPO UNSP bisa meningkat sebesar 170.000 ton. Sedangkan tahun ini, Achmad memperkirakan penjualan CPO perusahaan mencapai 340.000 ton atau naik 88,9% dari tahun lalu.
Dia juga optimistis, harga CPO tetap tinggi karena permintaan dunia terus meningkat. "Saya memperkirakan harga jual CPO UNSP berada di kisaran US$ 825 per ton," ujar Achmad. Angka ini lebih tinggi ketimbang asumsi Ambono, yaitu sebesar US$ 750 per ton.
Penilaian serupa diungkapkan analis AAA Securities, A. Lukmansyah Sjarkawi. Selain mendulang untung dari ekspansi dan kenaikan harga CPO, UNSP masih bisa meraup pendapatan dari penjualan karet. "Mereka juga memproduksi karet yang harganya tengah naik daun," imbuhnya. Bila rata-rata harga jual karet UNSP tahun lalu berkisar US$ 2.300 per ton, tahun ini, Lukmansyah menghitung, harganya bisa mencapai US$ 2.700 per ton. Sedangkan penjualan karet sepanjang 2008 bisa naik 33,33% menjadi 40.000 ton.
Ujungnya, Lukmansyah memperkirakan, tahun ini, pendapatan UNSP akan tumbuh 62,56% menjadi Rp 3,17 triliun. Adapun laba bersih UNSP akan melesat 141,53%, jadi Rp Rp 499 miliar. Melihat prospek itu, Lukmansyah dan Achmad kompak memberikan rekomendasi beli untuk saham UNSP.Achmad memasang target harga Rp 2.800 per saham. Sedangkan target Lukmansyah Rp 2.700 per saham. Jumat lalu (2/5), harga saham UNSP masih Rp 1.630 per saham. Adapun di awal 2008, harga saham ini mencapai Rp 2.275 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News