kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Mengukur instrumen investasi strategis di tengah kenaikan suku bunga


Kamis, 27 September 2018 / 21:56 WIB
Mengukur instrumen investasi strategis di tengah kenaikan suku bunga
ILUSTRASI. Bursa Efek Indonesia


Reporter: Grace Olivia | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sesuai perkiraan, Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga acuan demi merespons kebijakan pengetatan moneter Bank Sentral Amerika Serikat (AS). Hari ini, Kamis (27/9), BI mengerek suku bunga acuan sebesar 25 basis poin sehingga saat ini berada di level 5,75%.

Di tengah tren kenaikan suku bunga acuan, pasar saham maupun obligasi domestik masih belum tenang. Di pasar saham, sentimen eksternal masih menggoyang, sedangkan di harga obligasi di pasar sekunder berguguran seiring kenaikan suku bunga acuan.

Direktur Utama Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul Wawointana, tak menampik, sentimen negatif dari eksternal masih akan membuat pasar keuangan domestik volatil hingga akhir tahun. Sentimen tersebut tak jauh-jauh dari ketidakpastian perang dagang AS-China, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed yang masih kencang hingga paruh pertama tahun depan, hingga kondisi kurva yield US Treasury yang tampak negatif saat ini.

Dus, ia masih optimistis pada pasar saham yang menurutnya sudah melewati level terendahnya alias "hit the bottom". "Akhir kuartal ketiga itu secara historis memang momentumnya saham koreksi mendalam. Tapi, kalau lihat ke belakang cenderung akan naik lagi jelang akhir tahun hingga kuartal pertama dan kedua tahun berikutnya," kata Jemmy.

Ia sendiri cukup yakin, IHSG akan kembali bangkit dan menyentuh level 6.300 di pengujung tahun nanti. Dengan begitu, ia memproyeksi potensi upside indeks bisa mencapai 5% dari levelnya sekarang dan merupakan peluang bagus bagi investor yang mengakumulasi sejak saat ini.

Senada, Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto cenderung optimistis pada pasar saham domestik. Menurutnya, saham berpeluang mengalami reversal yang lebih cepat, terutama dibandingkan dengan instrumen berbasis obligasi.

"Untuk investor yang memang agresif, sebaiknya jangan langsung keluar dari saham. Tapi, mungkin bisa dikurangi saja porsinya jadi sekitar 30% dari portofolio biar tidak terlalu terbawa turun," kata Eko, Kamis (27/9).

Jemmy pun demikian, menurutnya, pasar obligasi masih bakal redup di tengah tren kenaikan suku bunga acuan hingga tengah tahun depan. "Pasar obligasi juga sangat bergantung pada nilai tukar rupiah dan porsi investor asingnya tinggi sehingga rawan koreksi," kata Jemmy.

Adapun, Jemmy menitikberatkan preferensi saham pada sektor komoditas. Sebab, tren harganya masih akan tinggi. "Terutama nikel dan batubara sehingga saya overwheight ke saham ANTM dan PTBA sekarang," kata Jemmy.

Setali tiga uang dengan reksadana, menurutnya reksadana saham masih akan memberi imbal hasil paling positif di akhir tahun ini. Menurutnya, reksadana saham secara industri masih berpotensi memberi imbal hasil di kisaran 4%-5%. "Reksadana pendapatan tetap, sepertinya secara industri hanya mencapai 2% returnnya," ujar Jemmy.

Di sisi lain, Eko mengimbau agar investor juga memperbanyak porsi uang tunai dan deposito. Instrumen yang lebih likuid ini bakal berguna untuk menjadi "amunisi", salah satunya untuk masuk ke pasar saat sedang bergerak turun. Selain itu, investasi dalam bentuk cash dan deposito tentu paling aman di tengah volatilitas pasar.

"Ketidakpastian masih besar soalnya, ada perang dagang AS dan China yang belum jelas, ekspektasi kenaikan suku bunga AS masih tinggi sampai tahun depan dan itu akan berpengaruh pada kurs maupun pasar saham kita," kata Eko.

Sementara, meski kurs dollar AS tengah melambung saat ini, ia tak begitu menyarankan investor mengakumulasi mata uang the greenback tersebut. "Nilainya sudah tinggi sekali sehingga marginnya keuntungannya juga kecil. Kalau tidak ada keperluan ke luar negeri, lebih baik menyimpan cash dalam rupiah saja," kata Eko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×