Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tertekan di akhir pekan, kurs rupiah sebenarnya justru menguat dalam sepekan terakhir. Kurs rupiah spot melemah 0,2% ke Rp 14.835 per dolar Amerika Serikat (AS) dan menguat 0,05% dalam sepekan.
Kurs Jisdor melemah tipis 0,09% ke level Rp 14.890 per dolar AS. Dalam sepekan, rupiah di kurs Jisdor menguat 0,41%.
Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana menilai pergerakan rupiah pekan depan masih akan bergerak layaknya pekan ini dengan kecenderungan melemah. “Sentimen pasar akan tertuju ke perkembangan kabar dari Donald Trump yang berpotensi menekan rupiah. Namun peluang penguatan juga terbuka karena Indonesia akan mengumumkan cadangan devisa yang diperkirakan kembali memecahkan rekor,” tambah Fikri.
Fikri pun menghitung rupiah akan bergerak pada kisaran Rp 14.800 per dolar AS-Rp 15.000 per dolar AS pada sepekan ke depan.
Baca Juga: Astra (ASII) membagikan dividen dengan yield lebih kecil
Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo memperkirakan rupiah akan diperdagangkan pada rentang Rp 14.700 per dolar AS-Rp 14.800 per dolar AS pada pekan depan. Sutopo menyebut jika laporan nonfarm payroll AS ternyata membaik, ada kemungkinan rupiah untuk kembali melemah. Namun, jika data tersebut ternyata jelek, akan berpotensi kembali menekan dolar AS yang bisa berimplikasi bagi penguatan rupiah.
Fikri mengungkapkan, sentimen utama yang mengerek pergerakan rupiah datang dari sisi eksternal. Salah satunya adalah kebijakan dari AS yang akan mempertahankan suku bunga di level 0%. “Sentimen tersebut diiringi dengan pernyataan bank sentral Eropa yang akan mengikuti arah kebijakan The Fed. Namun pernyataan dari The Fed Chicago yang mengatakan akan menaikkan suku bunga walau inflasi belum sampai 2% direspons negatif oleh pasar,” ungkap Fikri kepada Kontan.co.id, Jumat (2/10).
Selain itu, data ekonomi dari dalam negeri yakni Indonesia yang mengalami deflasi 0,05% dinilai Fikri juga membuat rupiah sempat terdepresiasi. Pasalnya hal itu menunjukkan permintaan dari dalam negeri masih belum tumbuh maksimal.
Baca Juga: Euro mengalahkan dolar AS dan yen Jepang sebagai mata uang dengan return tertinggi
Di sisi lain, rupiah yang akhirnya mulai kembali menguat, harus kembali melemah setelah Presiden AS Donald Trump menjadi korban positif virus corona. Fikri menyebut pasar menjadi kembali risk averse yang pada akhirnya melemahkan rupiah.
Sutopo menjelaskan, dalam sepekan pergerakan rupiah memang masih rentan terhadap perubahan yang terjadi pada dolar AS. Jadi secara umum dapat dikatakan pergerakan rupiah bergantung terhadap sentimen eksternal. Hal ini tercermin dari penguatan rupiah setiap kali indeks dolar AS mencatatkan penurunan.
“Meskipun USD/IDR telah mengalami pembalikan bearish yang tampaknya terjadi dalam beberapa hari terakhir, secara teknis rupiah masih terlihat rentan terhadap potensi pergerakan lebih tinggi. Tetapi selama sentimen pelaku pasar sedang membaik, rupiah berpeluang menguat,” jelas Sutopo.
Sutopo mencontohkan, ketika sentimen pelaku pasar memburuk, rupiah pun melemah. Hal ini terlihat ketika inflasi utama Indonesia turun menjadi -0,05%, rupiah kemudian ditutup terkoreksi. Sentimen lain pada pekan ini disebut Sutopo dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan deflasi September, deflasi dalam tiga bulan berturut-turut.
Baca Juga: Sepuluh saham berkapitalisasi besar jadi laggard IHSG September, berikut prospeknya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News