Reporter: Ruisa Khoiriyah, Aceng Nursalim, Narita Indrastiti | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Kabar manis tak henti-henti menyapa para pelaku pasar modal sepanjang tahun ini. Aliran dana asing yang terus membanjiri pasar finansial menjadi bahan bakar utama penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Aset-aset rupiah di pasar finansial menjadi incaran menilik imbal hasil yang tinggi dengan risiko yang relatif lebih rendah ketimbang di kawasan krisis seperti Eropa. Sejak awal tahun hingga 28 Mei 2013 lalu, para pemodal asing di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatatkan beli bersih (nett buy) senilai US$ 2.279,11 juta atau sekitar Rp 22,1 triliun dengan kurs
1 dollar AS setara Rp 9.700.
Serbuan dana asing inilah yang dominan mengungkit IHSG hingga mampu mendaki 20% ke level tertinggi 5.214,97 yang tercipta bulan lalu (20/5). “Bagaimana tidak? Gelontoran quantitative easing dari The Fed untuk babak keempat mencapai US$ 85 miliar per bulan, belum lagi stimulus dari bank sentral Jepang,” ujar Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker.
Di pasar obligasi, dana asing juga membanjir. Terhitung mulai akhir Desember 2012 hingga 24 Mei 2013, kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) tumbuh hingga 13% atau sekitar Rp 34,48 triliun menjadi Rp 305 triliun.
Serbuan masif dana asing tersebut turut memoles beberapa indeks sektoral di BEI. Sektor properti menjadi sektor saham paling cemerlang sepanjang tahun ini dengan kenaikan mencapai 63,7% ke level 534,58, Selasa (28/5). Disusul sektor consumer goods dan manufaktur, juga sektor keuangan dan perdagangan.
Sebaliknya, indeks sektor perkebunan tergerus 7,18%. Sektor tambang hanya mampu tumbuh tipis 0,94% sejak awal tahun hingga 28 Mei lalu.
Hanya saja, kemeriahan di pasar modal belakangan mulai berkurang. Kendati mencetak rekor baru, IHSG mulai kehabisan tenaga akibat para investor asing mulai mengurangi posisi mereka di aset-aset rupiah.
Sinyal The Fed yang berniat mengurangi gelontoran stimulus seiring data perekonomian AS yang mulai membaik, menggiring para pemodal asing bertahap menjual portofolio rupiahnya. “Hingga akhir pekan
lalu (25/5), posisi nett sell pemodal asing di pasar reguler untuk Mei saja mencapai Rp 3,8 triliun,” kata Satrio.
Aksi jual pemodal asing itu pula yang semakin melemahkan kepak mata uang Garuda. Pada Rabu (29/5), nilai tukar dollar AS dalam rupiah menembus Rp 9.810 menurut kurs tengah Bank Indonesia. Aksi pemodal asing yang hengkang tak lepas dari sentimen negatif di dalam negeri. Yang paling signifikan, ancaman inflasi akibat kenaikan baru bahan bakar minyak (BBM) oleh pemerintah.
Para investor asing khawatir, melesatnya inflasi akibat kebijakan baru harga BBM bakal memengaruhi peringkat utang Indonesia versi lembaga pemeringkat global. Maklum, wacana kenaikan harga BBM sudah terlalu berlarut-larut hingga imbasnya terhadap kenaikan ekspektasi inflasi makin berlipat.
Banyak pemanis
Di tengah situasi pasar yang penuh dengan ancaman sentimen negatif itu, bursa saham banyak diwarnai kabar emiten-emiten yang hendak membagi dividen. Royalnya para emiten menebar dividen menjadi sentimen positif yang cukup meneduhkan panasnya isu inflasi di pasar. Setidaknya ada sekitar 100 emiten membagi dividen tahun buku 2012, tahun ini.
Yang menarik, pembagian dividen tidak cuma didominasi oleh perusahaan-perusahaan berkinerja bagus. Emiten dari sektor yang tengah terpuruk seperti pertambangan dan perkebunan, tak mau kalah. Dengan kata lain, pembagian dividen bukan lagi monopoli perusahaan berfundamental dan berkinerja oke.
Di mata analis, sejatinya tidak ada aturan baku perusahaan publik seperti apa yang “layak” membagi dividen. “Perusahaan berkinerja buruk atau yang tengah merugi pun sah-sah saja membagi dividen, selama itu tidak mengganggu arus kas dan modal ekspansi ke depan,” ujar Reza Priyambada, Kepala Riset Trust Securities.
Maka itu, bukan hal aneh ketika suatu emiten yang mencatatkan kinerja buruk, bahkan merugi, tetap mengagendakan pembagian dividen kepada para pemegang sahamnya.
Meski menubruk dividen berpeluang menebalkan pundi-pundi cuan Anda, pastikan pemilihan saham pembagi dividen telah melalui perhitungan yang tepat. Berikut beberapa tip dan trik dari para analis bagi Anda yang berniat memburu saham pembagi dividen: Pertama, cermati kondisi fundamental emiten pembagi dividen. Meski mungkin Anda sekadar ingin memburu dividennya dan tidak menjadikan saham tersebut sebagai investasi jangka panjang, menilik fundamental si emiten tetaplah perlu ditempuh.
Mengetahui wadah atau instrumen tempat kita memutar duit adalah hal prinsip dalam berinvestasi. Jika emiten pilihan Anda berfundamental bagus, Anda tak perlu pusing saat harga sahamnya turun pasca-pembagian dividen. Kinerja yang bagus membuka peluang capital gain yang menggiurkan di masa mendatang.
Kedua, menghitung tawaran besar dividen atau dividend yield. Ada semacam konsensus di kalangan pelaku pasar terkait angka ideal dividend yield, yaitu di atas 3%.
Anda bisa menghitungnya dengan membagi antara besar dividen per saham yang akan dibagikan dengan harga saham emiten tersebut. Namun, dividend yield bukan satu-satunya ukuran. “Cek juga besar dividen per saham yang dibagikan tahun ini dengan tahun sebelumnya,” saran Reza.
Kendati nominal menurun, jika prospek harga saham ke depan cemerlang, pelaku pasar biasanya tetap memburunya untuk menadah capital gain. Hitung perolehan dividen bersih setelah dipotong pajak, apakah masih sesuai dengan harapan? Pajak dividen di negeri ini dibanderol 10% untuk investor individu.
Ketiga, catat jadwal pembagian dividen. Jika Anda memang tertarik menyerok dividen saham A, pastikan Anda tercatat sebagai investor saham tersebut pada saat cum date.
Di luar cum date atau biasa disebut ex date, Anda sudah tidak berhak mendapatkan dividen.
Berikut sebagian emiten yang bakal membagikan dividen di bulan Juni ini:
MTLA
Sektor properti mencapai puncak kejayaan setidaknya dua tahun terakhir, tak terkecuali PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) atau disebut juga Metland. Torehan pertumbuhan laba tahun 2012 yang mencapai30% menjadi Rp 204 miliar.
Pencapaian itu didukung oleh peningkatan pendapatan 25% pada 2012, yaitu sebesar Rp 679 miliar dari perolehan 2011 senilai Rp 542 miliar. Dari besar laba bersih itu, Metland menganggarkan Rp 40,74 miliar untuk dibagikan sebagai dividen.
Jika menghitung nominal, besar dividen MTLA cuma Rp 5,4 per saham. Harga saham MTLA ditutup di level Rp 610 per saham, Rabu (29/5). Dengan begitu, dividend yield MTLA sebesar 0,88%. “Yield sekecil itu tak menarik. Saya tidak rekomendasikan untuk masuk,” ujar Reza Nugraha, analis MNC Securities.
Olivia Surodja, Direktur Corporate Affair dan Sekretaris Perusahaan Metland, menuturkan, kebijakan dividen sudah menjadi komitmen perseroan kepada para investor ketika initial public offering (IPO) 2011 lalu. “Selama perusahaan untung, kami pasti akan bagi dividen maksimal 20% dari laba bersih,” ujar Olivia.
Selain itu, kebutuhan ekspansi perseroan tahun ini senilai Rp 850 miliar sudah aman. Sebesar Rp 300 miliar disokong utang bank, lalu Rp 136 miliar dari sisa dana IPO, dan dari kas internal. Dengan belanja modal sebesar itu, tahun ini Metland menargetkan penjualan properti Rp 1,1 triliun atau tumbuh 37,5% dari pencapaian tahun lalu. Namun, investor perlu mencermati dampak infl asi terhadap bunga kredit. Daya beli masyarakat bisa merosot jika bunga kredit rumah melejit.
Metland agaknya sudah mengantisipasi itu, yaitu dengan serius menggenjot lini pendapatan berulang melalui proyek perkantoran dan hotel. Terdekat, Metland hendak membangun hotel di Cawang, Jakarta Timur, di atas lahan 3.200 m². “Tahun ini, kami proyeksikan laba bersih MTLA mencapai Rp 324 miliar dengan pendapatan Rp 1,14 triliun,” ujar Alice Lie, analis Indopremier Securities.
Dia merekomendasikan beli MTLA dengan target harga Rp 860 per saham. Dengan prospek seperti itu, bagi Anda yang masih terpikat mengambil dividen MTLA nan mini, catat jadwalnya. Cum date dividen MTLA di pasar reguler dan negosiasi adalah 18 Juni, sedang di pasar tunai 21 Juni 2013.
LSIP
Sebagaimana emiten sektor perkebunan yang tengah mengalami masa suram, PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) tak bisa mengelak. Laba bersih anak usaha Grup Salim ini merosot 34% menjadi Rp 1,12 triliun, tahun 2012.
Pendapatan LSIP turun 10% dari Rp 4,86 triliun pada 2011 menjadi Rp 4,21 triliun, tahun lalu. Kinerja buruk itu berlanjut kuartal I−2013. Pendapatan LSIP tergerus 9% dibanding kuartal I−2012 menjadi Rp 912 miliar. Alhasil, laba bersih anjlok 66% menjadi Rp 101 miliar, dari sebesar Rp 299 miliar.
Toh, LSIP tetap menebar dividen Rp 450,3 miliar atau Rp 66 per saham. Menghitung harga penutupan LSIP, Rabu (29/5), di level Rp 1.910, maka dividend yield LSIP sebesar 3,45%. “Ratarata yield industri hanya 2%, tawaran LSIP itu menarik,” komentar Reza Nugraha.
Cum date dividen LSIP di pasar reguler dan negosiasi dijadwalkan pada 14 Juni dan di pasar tunai pada 19 Juni 2013. Ex date di pasar reguler dan negosiasi pada 17 Juni, dan di pasar tunai pada 20 Juni 2013.
Putusan menebar dividen di tengah keterpurukan tidak lepas dari keberadaan perseroan ini sebagai anak usaha konglomerasi besar. Induk usaha LSIP, yaitu PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), menganggarkan belanja modal Rp 2,8 triliun, khusus untuk lini agrobisnisnya. Antara lain, untuk membangun lima pabrik pengolahan kelapa sawit dan penambahan kapasitas pabrik. Kas internal LSIP per 31 Maret 2013 juga masih banyak, mencapai Rp 1,79 triliun.
Di mata analis, emiten perkebunan seperti LSIP berpeluang bangkit seiring kenaikan harga crude palm oil menjelang puasa dan Lebaran. “Kenaikannya biasanya 25%−30%,” kata Reza.
Toh, analis SamuelSekuritas Joseph Pangaribuan menggarisbawahi, LSIP kurang efi sien. Itu terlihat dari rata-rata cash cost yang naik 15% pada kuartal I−2013 menjadi Rp 3,6 juta per ton akibat kenaikan ongkos buruh dan biaya inventori. Cash cost adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan secara tunai. “Rekomendasi untuk LSIP kami kaji lagi dengan potensi downgrade,” imbuh Joseph.
Adapun, Reza menyarankan agar investor masuk ke saham LSIP sebagai investasi jangka panjang. “Untuk trading tidak direkomendasikan karena saat ini LSIP berada di area jenuh beli,” jelasnya.
INDF
Emiten consumer goods dedengkot Group Salim ini menikmati limpahan berkah dari pertumbuhan kelas konsumen baru yang kuat di negeri ini. Tak heran, meski lini bisnis perkebunan mereka lesu, secara keseluruhan konglomerasi ini mencatat kinerja apik.
PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) membukukan laba bersih Rp 3,26 triliun pada tahun lalu, dengan penjualan bersih menembus Rp 50,05 triliun. Maka, wajar jika RUPS yang digelar, Rabu (29/5), enteng menyetujui pembagian 50% laba bersih sebagai dividen. “Totalnya Rp 1,63 triliun atau Rp 185 per saham,” kata Anthoni Salim, Direktur Utama Indofood Sukses Makmur.
Merujuk harga saham pada 29 Mei, dividend yield INDF mencapai 2,51%. Dividen INDF ini lebih besar daripada dividen tahun buku 2011 sebesar Rp 175 dan tahun 2010, senilai Rp 133 per saham. Indofood cukup rajin membagikan dividen dengan porsi cukup besar. Tiga tahun terakhir, porsi dividen INDF berkisar 40%−50% dari laba bersih.
Porsi dividen yang besar dipastikan tak mengganggu arus kas. Untuk belanja modal tahun ini yang dianggarkan senilai Rp 7 triliun, INDF punya dukungan kas internal dan pinjaman bank. Kas internal INDF per 31 Maret 2013 mencapai Rp 12,18 triliun.
Sejauh ini, belum ada pengumuman resmi jadwal pembagian dividen INDF. Namun, jika Anda menilai tawaran dividen dari INDF terlalu kecil, Anda bisa berharap capital gain melihat prospek INDF ke depan.
Di mata analis, prospek INDF masih cerah. Pencapaian kinerja pada kuartal I−2013 memberikan optimisme itu. INDF meraih penjualan konsolidasi Rp 13,9 triliun atau tumbuh 8,7% dari pencapaian kuartal I−2012 sebesar Rp 11,8 triliun.
Hanya saja, laba bersih mereka turun 11,4% akibat melempemnya kinerja anak usaha di segmen agrobisnis, yakni LSIP dan PT Salim Ivomas Tbk (SIMP). Kinerja INDF tertolong PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dan Bogasari.
Penjualan dua lini usaha andalan itu masing-masing tumbuh 10,9% dan 13,3% pada kuartal I−2013. Masing-masing menembus angka Rp 5,85 triliun dan Rp 4,32 triliun. Analis AAA Securities Adolf Sutrisno merekomendasikan buy untuk INDF dengan target harga Rp 8.400 per saham. “Outlook ICBP dan Bogasari semakin menarik didukung harga gandum yang lebih murah dan perkembangan lebih lanjut dari kerjasama dengan Asahi Group,” ujar Adolf.
KLBF
Emiten farmasi ini menorehkan kinerja apik tahun lalu. Laba bersih PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) selama 2012 tumbuh 17% menjadi Rp 1,73 triliun, dari Rp 1,48 triliun di 2011. Maklum saja, pendapatan Kalbe juga tumbuh pesat. Tahun lalu, Kalbe berhasil meraih penjualan bersih Rp 13,63 triliun, naik 25% dari penjualan 2011 senilai Rp 10,91 triliun.
Menimbang pencapaian yang ciamik itu, RUPS yang digelar pada 20 Mei lalu memutuskan pembagian dividen 51% dari total laba bersih atau senilai Rp 890,67 miliar. Angka itu setara Rp 19 per saham. Pada Rabu (29/5), harga saham KLBF parkir di level Rp 1.530, sehingga dividend yield sebesar 1,24%.
Jika Anda tertarik dengan tawaran dividen dari emiten farmasi ini, sila catat jadwalnya. Cum date KLBF di pasar reguler dan negosiasi pada 13 Juni 2013. Adapun, cum date di pasar tunai pada 18 Juni 2013. Selain karena kinerja cemerlang, penebaran dividen juga menimbang kebutuhan belanja modal yang sudah aman. Dengan posisi kas per 31 Maret 2013 senilai Rp 1,89 triliun, KLBF menganggarkan belanja modal Rp 1 triliun−Rp 1,5 triliun tahun ini. Antara lain untuk perluasan kapasitas pabrik di Cikarang dan Pulogadung.
Nah, jika Anda menilai tawaran dividen KLBF kurang menarik, coba tengok prospek mereka di masa mendatang. Pada kuartal I−2013, KLBF mencetak pertumbuhan laba bersih 10% menjadi Rp 444 miliar. Salah satunya karena penjualan naik 16,2% dari Rp 3 triliun di kuartal I−2012 menjadi Rp 3,49 triliun.
Seperti emiten farmasi lain yang sensitif terhadap pergerakan kurs rupiah terhadap dollar AS, KLBF menghadapi risiko serupa. Kuartal I lalu, margin kotor KLBF turun dari 49% menjadi 48,4% akibat pelemahan rupiah. Jika pelemahan rupiah berlanjut, risiko KLBF tentu makin besar.
Kepala Riset Bahana Securities Harry Su berharap, manajemen KLBF proaktif menggalakkan inovasi dan menimbang pertumbuhan anorganik agar pamor KLBF makin moncer. “Rekomendasi kami naik dari hold menjadi buy dengan target harga Rp 1.580 per saham,” kata dia.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 36 - XVII, 2013 Saham
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News