Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan tata kelola gas dalam negeri kembali menjadi sorotan. Kali ini, pemerintah berencana memperpanjang Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dan menerapkan wajib pasok ke dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO) gas bumi sebesar 60%.
HGBT lazim disebut sebagai kebijakan gas murah untuk industri yang dipatok sebesar US$ 6 per Million Bristish Thermal Unit (MMBTU). Perpanjangan HGBT dan rencana DMO 60% dikhawatirkan bisa mengganggu iklim investasi di hulu minyak dan gas.
Hal itu kemudian bisa turut berimbas terhadap prospek kinerja dan pergerakan saham emiten, khususnya yang bergelut di bisnis gas. Equity Research Analyst Panin Sekuritas, Rizal Nur Rafly menilai perpanjangan HGBT yang dibarengi kebijakan DMO 60% bakal menjadi sentimen negatif bagi investasi di sisi hulu (upstream) dan tengah (midstream) gas.
"Kami berpendapat hal tersebut akan menimbulkan sinyal yang tidak kondusif untuk investasi, baik di hulu untuk eksplorasi dan produksi maupun di midstream untuk pengembangan infrastruktur gas domestik," ungkap Rizal kepada Kontan.co.id, Kamis (11/7).
Baca Juga: Program Harga Gas Murah Berlanjut Meski Realisasi Penyerapan Gas Belum Optimal
Equity Research Analyst Samuel Sekuritas Indonesia Muhammad Farras Farhan menambahkan, perpanjangan HGBT dan DMO 60% berpotensi menekan perolehan margin emiten gas. Sebab, kebijakan ini akan meningkatkan porsi penjualan menggunakan harga yang sudah dipatok oleh pemerintah.
Jika nantinya kedua kebijakan itu diterapkan, Farras menaksir dampak terhadap emiten gas seperti PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) akan cukup signifikan. "Apabila diberlakukan dan jika dibarengi dengan peningkatan jumlah industri yang menerima harga HGBT maka akan menjadi sentimen negatif," ujar Farras.
Analis Stocknow.id Dinda Resty Angira punya pandangan serupa, dimana kebijakan DMO 60% dapat memberikan tekanan tambahan bagi produsen gas untuk memenuhi kebutuhan domestik. Hal ini dapat membatasi pasokan untuk pasar internasional, sehingga berpotensi menurunkan pendapatan dari ekspor gas.
Apalagi jika dalam periode yang sama terjadi peningkatan beban operasional, maka pendapatan dan laba bersih perusahaan akan tertekan. Meski begitu, Dinda memandang respons pasar akan beragam dalam melihat efek perpanjangan HGBT dan DMO 60% terhadap emiten gas.
Baca Juga: Medco Energi (MEDC) Rampungkan Proyek Dayung Facility Optimization
Pada umumnya, kebijakan yang menekan pendapatan dan margin keuntungan akan dipandang negatif dari sisi investor. Tetapi, jika pasar melihat kebijakan ini bisa meningkatkan stabilitas dan permintaan jangka panjang di pasar domestik, reaksinya bisa lebih netral.
Dalam perspektif tersebut, investor akan lebih melihatnya sebagai kesempatan seandainya emiten gas dapat mengubah operasinya untuk tetap menghasilkan margin. Terlebih jika dibarengi dengan efisiensi operasional, diversifikasi dan penyesuaian strategi bisnis.
"Hal itu akan lebih menarik minat investor yang mencari perusahaan dengan kemampuan adaptasi yang baik dalam menghadapi perubahan regulasi," ungkap Dinda.
Baca Juga: Ini Strategi PGN Meningkatkan Efektivitas Penyaluran Gas Bumi Domestik
Di tengah wacana yang bergulir terkait tata kelola gas domestik tersebut, Dinda menilai saham PGAS dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) masih layak dikoleksi. Menurut Dinda, portofolio bisnis gas yang dimiliki PGAS memungkinkan untuk mengelola risiko dengan lebih baik.
Begitu juga dengan MEDC, yang bisnisnya lebih terdiverifikasi. Sebagai rekomendasi, Dinda menyarankan buy PGAS di area harga Rp 1.550-Rp 1.560 untuk target Rp 1.630-Rp 1.650, dan stop loss di Rp 1.505. Untuk saham MEDC, buy di Rp 1.335-Rp 1.340 dengan target Rp 1.405-Rp 1.465, dan stop loss di Rp 1.305.
Sementara itu, Farras menjagokan saham PT Rukun Raharja Tbk (RAJA). Sedangkan Rizal menyarankan pelaku pasar untuk wait and see terlebih dulu, sambil mencermati kejelasan mengenai regulasi dan implementasi yang diatur pemerintah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News