kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menakar efektivitas aturan saham dengan hak suara multipel untuk IPO domestik


Kamis, 09 Desember 2021 / 16:26 WIB
Menakar efektivitas aturan saham dengan hak suara multipel untuk IPO domestik
ILUSTRASI. Bursa Efek Indonesia.


Reporter: Dityasa H. Forddanta | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi menerbitkan peraturan terkait multiple voting shares (MVS) alias saham dengan hak suara multipel (SHSM). Aturan ini bertujuan mengakomodir initial public offering (IPO) perusahaan startup.

Namun, aturan bertajuk POJK Nomor22/POJK.04/2021 tentang penerapan klasifikasi SHSM ini sepertinya tak lantas menggiring startup, terutama yang berstatus unicorn atau di atasnya, berbondong-bondong menghelat IPO.

Berkaca dari sejumlah negara di Asia Pasifik yang telah lebih dulu menerapkan aturan sejenis, jumlah IPO startup relatif lebih sedikit. Sebut saja Hong Kong yang bursa sahamnya (HKEX) menerapkan aturan MVS pada 2018.

Sejak periode tersebut hingga tahun lalu, baru ada 9 pencatatan saham atawa listing yang menggunakan skema MVS. Jumlah ini hanya sekitar 1% dari jumlah listing selama periode yang sama, sebanyak 555 IPO.

Bursa Singapura (SGX) bahkan lebih sedikit. SGX menerapkan aturan MVS pada 2018. Sejak periode ini hingga tahun lalu, hanya ada satu listing menggunakan aturan MVS. Listing ini  berasal dari secondary IPO.

Baca Juga: Jika Ada Lebih dari satu Pemilik Saham Dengan Hak Suara Multipel, ini Aturan Mainnya

Berbeda dengan Amerika Serikat (AS) yang sudah jauh lebih dulu memiliki aturan MVS. Selama periode 2018-2020, ada 54 listing dengan MVS dari total 310 listing. Jumlah 54 listing tidak termasuk IPO dengan skema special purpose acquisition company (SPAC) dan real estate investment trust (REITs).

Head of Research Trimegah Sekuritas Willinoy Sitorus menjelaskan, Aturan MVS di Asia Pasifik termasuk Indonesia memang mengadopsi aturan serupa di negara barat yang sudah bertahun-tahun menerapkan aturan ini. Tidak seperti negara Asia Pasifik termasuk Indonesia yang baru saja menerapkan aturan serupa, MVS di AS lebih longgar.

"Sementara, di Asia Pasifik, aturannya jauh lebih spesifik hingga sepaket dengan perlindungan investor. Ini menyebabkan listing menggunakan MVS di kawasan Asia Pasifik masih relatif lebih rendah," terang Willinoy, Kamis (9/12).

Di Indonesia, POJK soal SHSM juga bertujuan untuk menyaring startup yang sudah dalam fase dewasa. Ini tercermin salah satu syarat, yakni startup yang memiliki aset minimal Rp 2 triliun yang berhak menggunakan skema SHSM. "Nilai aset Rp 2 triliun tergolong besar bagi startup yang cenderung memiliki light asset," imbuh Willinoy.

Meski begitu, lanjut Willinoy, regulasi yang berlaku efektif mulai 1 Desember ini merupakan tahap awal untuk rencana jangka panjang. Regulasi ini akan bermanfaat di masa mendatang, terutama ketika investor domestik sudah mulai familiar dan memahami investasi di saham perusahaan startup.

Pertimbangan startup sekelas unicorn dan seterusnya untuk menghelat IPO sejatinya tidak hanya menyoal aturan SHSM. Lokasi IPO turut menjadi pertimbangan.

Misalnya, GoTo yang sempat dikabarkan bakal IPO di dua lokasi, bursa Amerika Serikat (AS) dan bursa domestik. Traveloka juga berencana IPO di luar negeri meski belum mengeliminasi rencana IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI). 

Baca Juga: Terbitkan aturan klasifikasi saham dengan hak suara multipel, ini penjelasan OJK

IPO Traveloka kemungkinan besar hanya tinggal menunggu waktu. Namun, fokus Traveloka saat ini adalah memperkuat kinerja yang sempat terdampak pandemi Covid-19. 

William Setjoadi, Deputy Head of Research RHB Sekuritas menilai, wajar jika startup sekelas GoTo atau Traveloka mempertimbangkan listing di luar negeri. Bukan hanya masalah likuiditas yang lebih besar, tapi juga image dari IPO sendiri.

IPO bisa saja dilakukan lebih dulu di bursa domestik sembari membawa investor strategis. Namun, jika harga saham setelah listing justru anjlok, ini berpotensi menjadi preseden kurang baik di mata investor asing.

"Kalau ada second funding, IPO di negara kedua, mereka harus memastikan IPO di negara pertama sukses. Kalau pun di negara pertama oversubscribed tapi kemudian harganya dibanting, dikhawatirkan IPO di negara kedua tidak ada yang mau ikut lagi," terang Michael kepada KONTAN belum lama ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×