kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.350.000   -4.000   -0,17%
  • USD/IDR 16.665   -20,00   -0,12%
  • IDX 8.272   -2,63   -0,03%
  • KOMPAS100 1.147   -2,68   -0,23%
  • LQ45 828   0,00   0,00%
  • ISSI 290   -1,26   -0,43%
  • IDX30 434   0,97   0,22%
  • IDXHIDIV20 499   3,67   0,74%
  • IDX80 127   -0,55   -0,43%
  • IDXV30 136   -0,78   -0,57%
  • IDXQ30 138   0,41   0,30%

Melirik Peluang Kinerja & Rekomendasi Emiten Sektor Infrastruktur Jelang Akhir Tahun


Minggu, 26 Oktober 2025 / 14:56 WIB
Melirik Peluang Kinerja & Rekomendasi Emiten Sektor Infrastruktur Jelang Akhir Tahun
ILUSTRASI. Barito Renewable Energy (BRENT) telah menyelesaikan proyek retroit senilai US$ 22,5 juta


Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja emiten sektor infrastruktur diperkirakan masih bakal kuat menjelang pergantian tahun. Sekedar mengingatkan, per 24 Oktober 2025, IDX Infrastructure (IDXINFRA) sudah naik 30,82% sejak awal tahun alias year to date (YTD).

Fundamental Analyst BRI Danareksa Sekuritas Abida Massi Armand melihat, peningkatan kinerja IDXINFRA dipicu oleh euforia investor terhadap saham-saham Utilitas Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Optimisme terhadap transisi energi bersih, dukungan kebijakan pemerintah, serta ekspektasi pertumbuhan jangka panjang di sektor energi hijau mendorong lonjakan harga pada saham-saham berkapitalisasi besar di sektor ini.

“Momentum tersebut juga mendapat dukungan dari sentimen makro berupa keberlanjutan proyek infrastruktur strategis dan arus modal asing ke sektor defensif berbasis aset riil,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (24/10/2025).

Baca Juga: Emiten Ramai-Ramai Gelar Buyback Saham, Mana yang Paling Menarik?

Pendorong utama kenaikan indeks adalah PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA). BREN menjadi kontributor terbesar berkat bobot kapitalisasi pasar yang besar dan popularitas tinggi di kalangan investor ritel.

Sedangkan, CDIA mendapat dorongan dari eksposur bisnisnya di bidang logistik dan transportasi maritim. Namun, menjelang akhir kuartal ketiga, reli mulai melemah seiring valuasi yang terlalu mahal.

“BREN sendiri memiliki price to earning ratio (PER) 591x dan sinyal konsolidasi pasar yang muncul menjelang rebalancing indeks Oktober,” katanya.

Analis Pilarmas Investindo Sekuritas Arinda Izzaty melihat, IDXINFRA naik terutama karena kombinasi beberapa faktor.

Pertama, kenaikan tajam beberapa emiten besar dan likuid di sektor infrastruktur, termasuk efek pasca IPO dan rally pada saham CDIA yang menarik aliran modal besar.

Kedua, relief pada segmen EBT, seperti BREN, yang mendapat rerating karena ekspektasi proyek energi terbarukan. Ketiga, pergeseran alokasi investor, baik ritel maupun produk pasif (ETF), yang memasukkan lebih banyak saham infrastruktur maupun holding ke portofolio mereka.

“Sumber pasar mencatat CDIA dan BREN sebagai kontributor material terhadap pergerakan sektor dan data harga serta volume menunjukkan aktivitas kuat pada keduanya,” ungkapnya kepada Kontan, Jumat.

Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT) Hari Rachmansyah bilang, penggerak kinerja IDXINFRA berasal dari kenaikan BREN, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan CDIA. Ini seiring dengan kebijakan pemerintah yang semakin fokus pada pengembangan dan transisi ke sumber energi alternatif.

Baca Juga: Kinerja Medikaloka Hermina (HEAL) Lesu, Simak Prospek dan Rekomendasi Sahamnya

Selain itu, sektor telekomunikasi juga turut memberikan kontribusi positif, terutama PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Indosat Tbk (ISAT), dan PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk (EXCL).

Khususnya, TLKM mendapat sentimen positif setelah melakukan aksi korporasi berupa spin-off bisnis infrastruktur serat optik ke anak usaha baru, PT Telkom Infrastruktur Indonesia (TIF).

“Langkah ini mendapat respon positif dari pasar, tercermin dari kenaikan harga saham TLKM hingga 15% dalam pekan terakhir,” katanya kepada Kontan, Jumat.

Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan evaluasi minor terhadap IDXINFRA yang sudah efektif berlaku sejak 1 Oktober 2025. Periode efektif konstituen berlaku hingga 30 Juni 2026 dan periode jumlah saham penghintungan indeks berlaku hingga 30 Desember 2025.

Dalam rebalancing ini, bobot CDIA dan BREN terhadap indeks turun. Bobot CDIA terhadap IDXINFRA turun dari 18,52% menjadi 9%. Sementara, bobot BREN turun dari 9,42% menjadi 9%.

Kata Arinda, penurunan bobot CDIA dan BREN dalam evaluasi indeks itu mengubah mekanika penggerak IDXINFRA.

Secara teknis, rebalancing mengurangi sensitivitas indeks terhadap fluktuasi harga dua saham tersebut, serta memaksa produk pasif (ETF) yang mereplikasi indeks melakukan rebalancing dengan menjual sebagian posisi di CDIA atau BREN dan beli konstituen lain.

Sehingga efek langsungnya adalah potensi tekanan jangka pendek pada CDIA dan BREN, tetapi dukungan relatif bagi saham-saham infrastruktur lain yang bobotnya naik.

Implikasi praktisnya bagi kinerja konstituen adalah bahwa CDIA dan BREN sekarang lebih banyak ditentukan oleh faktor fundamental dan likuiditas spesifik emiten.

Baca Juga: Kinerja Sektor Ritel Dibayangi Fenomena Down Trading, Simak Rekomendasi Sahamnya

“Sementara nama-nama pengganti berpeluang mengambil alih peranan sebagai ‘penopang’ indeks jika mendapat arus modal pasif,” ungkapnya.

Senada, Abida bilang kalau penurunan bobot bisa menyebabkan BREN menghadapi tekanan jual berkelanjutan karena valuasi ekstremnya tidak lagi sejalan dengan bobot barunya di indeks, dengan nilai intrinsik konservatif sekitar Rp750–Rp 950 per saham.

Sementara itu, CDIA meski terdampak teknis, tetap memiliki daya tarik bagi trader jangka pendek karena volatilitasnya tinggi.

“Secara keseluruhan, rebalancing ini membuka ruang rotasi dana menuju saham-saham undervalued di subsektor Telekomunikasi dan Jalan Tol yang tengah berada pada valuasi diskon dan memiliki katalis fundamental yang lebih kuat,” katanya.

Hari menilai, dengan porsi yang lebih kecil, kenaikan harga saham BREN dan CDIA tidak lagi memberikan dampak sebesar sebelumnya terhadap indeks. Namun, secara fundamental, prospek keduanya tetap positif.

Misalnya, BREN masih diuntungkan oleh ekspansi proyek energi baru terbarukan dan kebijakan pemerintah yang pro-transisi energi. Sedangkan, CDIA didukung oleh peningkatan permintaan infrastruktur energi dan proyek logistik strategis.

“Sementara itu, ruang pergerakan indeks bisa lebih banyak dipengaruhi oleh konstituen besar lain, seperti TLKM, ISAT, dan PGEO, terutama dengan sentimen positif dari sektor telekomunikasi dan keberlanjutan energi yang masih kuat di 2025,” paparnya.

Arinda melihat, di sisa 2025, kemungkinan momentum peningkatan kinerja IDXINFRA berlanjut. Tetapi, dengan volatilitas karena rebalancing dan realisasi proyek dapat memicu koreksi sementara.

 

Untuk 12 bulan ke depan, subsektor yang paling berpeluang menjadi juara adalah renewables, independent power dan digital infrastruktur seperti data center dan telekomunikasi. Ini didukung oleh pipeline proyek energi bersih, minat ESG, dan kebutuhan digitalisasi.

“Sementara emiten kontraktor konstruksi tradisional berisiko tertahan jika alokasi APBN untuk PUPR tetap ketat, kecuali mereka berhasil mengamankan proyek PPP atau swasta,” paparnya.

Arinda pun menyarankan investor untuk memperhatikan BREN dan CDIA dengan target harga masing-masing Rp 9.975 per saham dan Rp 2.280 per saham.

Menurut Abida, menjelang akhir 2025, IDXINFRA diperkirakan akan bergerak dalam fase konsolidasi pasca reli besar di paruh pertama tahun. Faktor makroekonomi, seperti suku bunga tinggi dan potensi pergeseran anggaran pemerintah ke program sosial membatasi upside indeks.

Namun, pergerakannya akan jadi downside terbatas, karena sekitar 30% bobot indeks kini berasal dari saham dengan valuasi rendah dengan PER di bawah 15x dan PBV kurang dari 2x.

“ Di sisi lain, dukungan tetap datang dari pipeline proyek KPBU senilai Rp124 triliun, termasuk pembangunan tujuh ruas tol baru yang menjaga momentum positif sektor infrastruktur,” katanya.

Sementara, di tahun 2026 diprediksi menjadi fase rotasi subsektoral, di mana modal akan bergeser dari saham berbasis momentum, seperti utilitas EBT ke saham berbasis value dan siklus seperti Telekomunikasi dan Jalan Tol.

Subsektor Telko seperti TLKM, ISAT, dan MTEL akan menjadi jawara kinerja baru, ditopang pemulihan laba bersih sektor dari 3% di 2025 menjadi 6,7% di 2026. Ini juga seiring berakhirnya perang harga data dan kenaikan ARPU.

“Jasa Marga (JSMR) juga diuntungkan oleh realisasi kenaikan tarif tol dan arus kas yang lebih stabil,” paparnya.

Arida pun merekomendasikan beli untuk TLKM, JSMR, dan MTEL dengan target harga masing-masing Rp 3.500 per saham, Rp 4.750 per saham, dan Rp 800 per saham.

Baca Juga: IHSG Sepekan: Sentimen Global dan Domestik Dorong Kinerja Positif

Rekomendasi speculative buy diberikan untuk CDIA untuk trading jangka pendek di area Rp2.050 – Rp 2.120 per saham, dengan target Rp 2.180 – Rp 2.240 per saham.

Menurut Hari, saham telekomunikasi dan energi berkapitalisasi pasar besar akan menjadi pintu masuk investor asing hingga akhir tahun 2025. Namun, profit taking di beberapa sektor yang sudah reli,seperti energi & infrastruktur, juga bisa menahan laju penguatan.

Sementara, di tahun 2026 ada potensi rotasi ke sektor konstruksi dan properti jika belanja infrastruktur APBN meningkat.

Hari pun merekomendasikan beli untuk TLKM dan ISAT dengan target harga Rp 3.800 per saham dan Rp 2.160 per saham.

Selanjutnya: Disaksikan Trump, Thailand dan Kamboja Teken Gencatan Senjata

Menarik Dibaca: IHSG Diperkirakan Terkoreksi, Ini Rekomendasi Saham MNC Sekuritas (27/10)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×