Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tahun ini, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) menjual salah satu asetnya, Lippo Mall Kemang kepada pihak afiliasi, Lippo Malls Indonesia Retail Trust (LMIRT). Nilai transaksinya mencapai Rp 3,6 triliun. "Penjualan aset ini adalah salah satu strategi LPKR," kata Danang Kemayan Jati, Vice President & Head of Corporate Communication, beberapa waktu lalu.
Dia menyebutkan, cara itu dengan asset light strategy. Maksudnya, LPKR menjual aset ke pihak lain, tapi tetap memiliki hak untuk mengoperasikannya. Thendra Crisnanda, BNI Securities, menilai, strategi bisnis LPKR memakai skema Real Estate Invesment Trust (REIT). Skema ini akan berefek positif bagi kinerja perusahaan. "Meski menjual aset mal, LPKR masih tetap mendapatkan cash flow," kata dia. Secara praktis, skema ini seperti mendaur ulang modal.
"Kami membangun, lalu kami jual setelah mencapai tingkat okupansi tertentu," ungkap Ketut Budi Wijaya, Presiden Direktur LPKR. Hingga Juni 2014, Lippo Mall Kemang telah mencatat tingkat okupansi 98,2% dengan laba bersih sekitar US$ 33,6 juta di akhir tahun 2013.
Analis Danareksa Sekuritas, Anindya Saraswati menyatakan, skema penjualan aset ini menjadikan LPKR sebagai perusahaan pertama yang menerapkan REIT sebagai strategi bisnisnya. Di luar negeri, strategi ini sudah jamak. Dengan strategi bisnis itu, saban tahun angka penjualan aset LPKR mencapai US$ 600 juta hingga US$ 800 juta.
Maka tak salah jika tahun depan LPKR memiliki rencana menjual dua aset lagi, berupa mal atau rumahsakit. Jika rencana itu terwujud, akan mendongkrak kinerja LPKR. Bahkan, Thendra mencatat bahwa emiten ini mampu menjual beberapa aset dengan harga premium atau di atas harga jual normal.
Secara umum Thendra menilai, prospek bisnis LPKR cukup baik. "Bisnis yang digeluti LPKR lengkap, mulai dari rumahsakit hingga pemakaman ada," jelas dia. Selain mengembangkan perumahan dan kawasan komersial, LPKR menggarap bisnis rumahsakit dengan brand RS Siloam serta kawasan pemakaman elite, San Diego Hills. Porsi pendapatan LPKR juga cukup berimbang. Porsi pendapatan berulang (recuring income) menyumbang 50% total pendapatan.
Diversifikasi bisnis menjadikan LPKR lebih kuat bertahan di saat industri properti melemah. LPKR terbilang cukup ekspansif. Anindya mencatat hingga September 2014, LPKR telah meluncurkan beberapa proyek mixed used seperti St Mortitz di Makassar, Sulawesi Selatan; Embarcadero di Bintaro, Jakarta Selatan; Holland Village di Jakarta Pusat.
Tapi ada beberapa proyek LPKR yang tertunda. Alasan penundaan beragam. "Ada yang terkena imbas kondisi ekonomi nasional dan proses perizinan tanah yang belum selesai," ungkap Anindya. Lantaran ada proyek yang tertunda, Anindya menerka marketing sales LPKR hingga akhir tahun ini senilai Rp 7,73 miliar, tumbuh 15,1% year-on-year (yoy).
Thendra dan Anindya merekomendasikan buy LPKR, yang masing-masing menargetkan Rp 1.225 dan Rp 1.180 per saham. Analis RHB OSK Securities, Lydia Suwandi, juga merekomendasikan buy LPKR dengan target Rp 1.500. Harga saham LPKR kemarin (20/11) meningkat 0,94% menjadi Rp 1.075 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News