Reporter: Cindy Silviana Sukma | Editor: Sofyan Hidayat
JAKARTA. Menjabat sebagai Presiden Direktur PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA), sebuah perusahaan properti, sejak 13 tahun silam, tak lantas membuat Johannes Suriadjaja tertarik menjadikan properti sebagai aset investasi utamanya.
Pria bergelar Bachelor Arts in Marketing Management dari salah satu universitas di Negeri Uwak Sam ini lebih tertarik memupuk pundi investasi di sektor non riil.
Berawal dari coba-coba, Johannes langsung terjun berinvestasi di pasar modal di Amerika Serikat pada 1986. Saat itu, ia masih berumur 23 tahun. Pengalaman pahit sempat ia rasakan ketika pasar saham dunia rontok pada 19 Oktober 1987, peristiwa yang kondang dengan sebutan Black Monday. Ia menanggung rugi cukup besar pada saat itu.
Tapi, ia tak patah semangat. Johannes terus mencari informasi dan belajar dari berbagai sumber. Ia lantas melirik produk reksadana yang mampu memberikan imbal hasil cukup menarik. "Produk ini cukup bagus, terutama bagi mereka yang baru belajar investasi untuk jangka panjang. Apalagi, tak perlu repot karena sudah ada yang mengelola dari fund manager," tutur dia.
Usai menamatkan kuliah, Johannes kembali ke Indonesia pada 1989. Aktivitas investasinya sempat vakum. Ia bekerja pada salah satu bank asing di Jakarta. Pekerjaannya di bank mampu memperkaya pengetahuan investasinya. "Belajar dari pengalaman, saya menyadari pentingnya diversifikasi aset kekayaan," tuturnya.
Johannes kembali terjun ke dunia pasar modal setelah dua tahun pertama bekerja di Surya Internusa. Tak hanya menancapkan asetnya pada saham di Indonesia, ia juga mengincar produk investasi di sejumlah negara, seperti AS, Eropa, Singapura, dan Hong Kong.
Maklum, saat itu produk reksadana masih jarang ditemukan di Indonesia. Perusahaan lokal pun masih sedikit yang go public. "Sedangkan di AS, tersedia beragam produk reksadana. Sudah banyak perusahaan yang terdaftar di bursa, tata kelolanya pun juga sudah baik," ungkap Johannes yang mengaku sebagai tipe investor moderat agresif ini.
Gagal Berbisnis
Meski cukup agresif berinvestasi di sektor non riil, Johannes juga pernah mencoba beberapa bisnis bersama dengan rekannya. Pertama kali, ia terjun ke bisnis perdagangan, alias memasukkan barang impor dan menjualnya kembali di Indonesia. Cuma, bisnis itu tak berjalan baik.
Tak cuma itu, ia juga menjajal beberapa bisnis lain, mulai dari membuka restoran hingga peternakan sapi. Namun lagi-lagi bisnisnya tak berhasil. Keterbatasan waktu dan rutinitas pekerjaan yang padat, menjadikan bisnis yang ia geluti kurang terkelola dengan baik.
Sejak saat itu, ia lebih memilih mengalokasikan aset-asetnya di sektor non riil. Ia membiakkan duitnya di reksadana dan saham yang tak butuh banyak waktu untuk memelototi.
"Umpamanya ada yang menawarkan bisnis baru di bidang IT (information technology). Kenapa tak kita beli saja saham-saham IT seperti Facebook, Microsoft, atau Yahoo? Toh, perusahaan ini sudah jelas akan berkembang, ketimbang coba-coba bisnis baru tapi tak punya waktu menjalankan," jelas Johannes.
Begitu pula dengan investasi properti. Johannes cenderung memilih saham-saham properti, ketimbang membeli properti secara riil. Jika cermat, saham properti bisa memberi profit yang lebih besar. Apalagi, saham lebih mudah ditransaksikan.
Bagi dia, mengelola aset dan perusahaan itu berbeda. Ia merasa tak pintar mengelola aset pribadi. "Tapi suatu kebanggaan bisa mengelola perusahaan menjadi besar seperti saat ini," ujar pria yang dinobatkan sebagai The Indonesian Entrepreneur of The Year 2013 dari Ernst & Young ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News