Reporter: Benedicta Prima | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 menyebabkan ekonomi global menjadi lesu atau bahkan krisis. Beberapa lembaga ekonomi internasional berbondong-bondong memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global, termasuk juga ekonomi Indonesia.
Kepala ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini berada di kisaran 1,8%, anjlok dari pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 5,02%. Krisis ini diprediksi baru akan selesai pada semester I-2021.
"Saya mengacu pada vaksin akan ditemukan dan bisa diaplikasikan dalam 12-18 bulan ke depan. Mestinya krisis awal 2020 ini kemungkinan baru akan selesai pada semester I-2021, still a long way to go," kata Adrian dalam webinar bertajuk Mendulang Profit dari Saham-saham BUMN Pasca Covid-19, Minggu (26/4).
Baca Juga: Pelarangan transportasi bisa bikin IHSG tertekan dalam jangka pendek
Adrian menambahkan krisis 2020 merupakan krisis ketiga yang dia lalui. Setiap krisis memiliki sifat dan karakter yang berbeda. Dia merinci, karakteristik krisis tahun ini terdiri dari tiga macam yaitu virus pandemi Covid-19, efek sosiopolitik dari upaya menekan penyebaran virus, dan efek terhadap ekonomi. Dari tiga karakter ini dapat disimpulkan bahwa krisis akan selesai apabila upaya penekanan penyebaran bisa seefektif mungkin serta ditemukannya cara untuk menyelesaikan virus itu sendiri.
Selain itu, Adrian juga melihat yang membedakan krisis global 2020 dengan 2008 adalah polarisasi tajam yang sedang berkembang. Seperti rivalitas Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok, Rusia dengan OPEC dan AS dengan Eropa. Polarisasi ini membuat negara-negara sulit memunculkan sebuah solusi global. "Kalau ini tidak tercapai maka akan sulit sembuh secara cepat," imbuhnya.
Baca Juga: IHSG peringkat kelima di ASEAN, target penurunan terdekat bisa menyentuh 3.800
Lalu bagaimana dampaknya ke pasar saham?
Adrian menjelaskan tiga penentu utama pergerakan pasar saham adalah earning per share (EPS), persepsi risiko dan likuiditas di pasar saham. Adrian melihat ketiganya absen di tahun 2020. "Selama ketiga faktor itu absen maka sulit melihat adanya rebound di pasar," jelas dia.
Menurut dia, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 1,8% dan inflasi 2,7% serta proyeksi tidak adanya pertumbuhan dividen di tahun ini maka EPS hanya akan tumbuh 3%-5%. Artinya harga saham tidak akan bergerak kemana-mana.
Kemudian dari persepsi risiko, Adrian menjelaskan terjadi ekspektasi pasar yang begitu lebar. Hal ini terlihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda antar lembaga seperti IMF yang memprediksi 0,5%, Fitch memprediksi 1,9%, Moody's 3%, ADB 2,5%, Bank Dunia 2,1% dan Pemerintah Indonesia 2,3%. Ini menggambarkan ekspektasi market begitu lebar sehingga persepsi risiko juga cukup tinggi.
Baca Juga: Asing terus melepas saham unggulan, begini rekomendasi analis
Dari sisi likuiditas, saat ini investor fokus pada pasar obligasi. Didukung oleh kebijakan dari bank sentral yang mendorong perbankan untuk membeli obligasi pemerintah dengan menurunkan giro wajib minimum dan meningkatkan penyangga likuiditas makroprudensial. "Sehingga bank membantu membeli bond maka arahnya kepada bond bukan ke pada saham," kata Adrian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News