Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Masa kelam emiten saham berbasis minyak dan gas (migas) berlanjut tahun ini. Sebab, harga minyak mentah di pasar dunia jeblok. Mengutip Bloomberg, Rabu (7/1) pukul 20:30 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk Februari 2015 senilai US$ 48,64 per barel.
Padahal, awal September 2014, harga minyak WTI masih di kisaran US$ 94 per barel. Dus, tiga bulan harga minyak sudah anjlok 48%. Bahkan harga minyak sepertinya siap menuju ke bawah US$ 40 per barel. Kejatuhan harga minyak tentu berefek negatif ke emiten produsen minyak yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia.
Analis BNI Securities, Thendra Crisnanda, menilai, penurunan harga minyak menekan kinerja emiten yang bergerak langsung dalam produksi minyak seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC). Penurunan harga minyak akan berlangsung lama. Koreksi itu berpotensi menggerus hebat pendapatan emiten migas.
Thendra menghitung, pendapatan emiten minyak dan gas berpotensi menyusut 50%. Koreksi itu sejalan dengan penurunan harga minyak global tiga bulan terakhir. Kendati demikian, Thendra menilai, emiten migas bisa mengantisipasi efek negatif penurunan harga minyak dengan efisiensi.
Selain itu, mereka harus mampu melihat peluang lain, seperti membangun pembangkit listrik di sektor batubara dan mencari potensi energi terbarukan.
Kiswoyo Adi Joe, analis Investa Saran Mandiri, juga mengatakan, penurunan harga minyak berpotensi memangkas pendapatan emiten yang berhubungan langsung dengan sektor minyak dan gas seperti MEDC dan PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Tak banyak emiten yang diuntungkan dengan penurunan harga minyak kali ini. Pun emiten pengguna minyak, yang seharusnya bahagia dengan penurunan harga minyak. Sebab, kendati harga minyak jatuh, rupiah juga jatuh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News