Reporter: Namira Daufina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Meski produksi OPEC diduga akan mengempis sepanjang Januari 2017 ini sesuai dengan langkah pemangkasan produksi yang dilakukan, namun koreksi tetap menyerang harga minyak WTI. Analis menduga sepanjang pekan depan rentang pergerakan minyak WTI masih akan tetap konsolidasi cenderung menurun.
Mengutip Bloomberg, Jumat (27/1) harga minyak WTI kontrak pengiriman Maret 2017 di New York Mercantile Exchange tergerus 1,13% ke level US$ 53,17 per barel dibanding hari sebelumnya. Sepekan terakhir pun harga minyak WTI tergelincir 0,09%.
Deddy Yusuf Siregar, Research and Analyst PT Asia Tradepoint Futures mengatakan biasanya di akhir pekan pasca penguatan yang cukup tajam, wajar harga minyak WTI terserang koreksi akibat aksi teknikal. Apalagi memang dalam beberapa waktu terakhir pergerakan minyak WTI terus bergulir dalam rentang yang stagnan.
“Ditambah lagi, China libur sepanjang pekan ini, maka beban bagi pergerakan komoditas termasuk minyak membesar dan ini menjadi penyebab koreksi,” jelas Deddy.
Pasar di China masih libur hingga akhir pekan nanti dalam rangka perayaan Hari Raya Imlek. Sebagai salah satu pasar komoditas terbesar, hal ini tentunya mengikis transaksi di pasar komoditas yang berimbas buruk pada harga.
Faktor lainnya yang masih membebani harga minyak WTI adalah laporan kenaikan rig aktif pengeboran minyak di AS yang masih terus berlanjut. Laporan Baker Hughes Inc mencatatkan pekan lalu rig aktif pengeboran minyak AS naik 15 unit menjadi 566 unit dibanding pekan sebelumnya. Hal ini berimbas pada naiknya produksi minyak mentah AS hingga menyentuh level tertingginya sejak April 2016 lalu.
Energy Information Administration (EIA) melaporkan produksi minyak AS naik 17.000 barel per hari menjadi 8,96 juta barel. “Sehingga saat ini terjadi tarik menarik sentimen di pasar minyak mentah global yang membuat harga akan cenderung stagnansi,” tutur Deddy.
Menurutnya, jika harga minyak WTI belum mampu menembus resistance US$ 55,22 per barel maka harga akan terus bergerak stagnan cenderung koreksi.
Meski demikian, Deddy pun memperkirakan Senin (30/1) harga akan berpotensi untuk naik terbatas. Mengingat performa data pertumbuhan ekonomi AS kuartal empat 2016 yang menukik tajam dari 3,5% menjadi 1,9% tentunya akan menekan posisi USD yang menguntungkan minyak dan komoditas lainnya.
“Rentang konsolidasi tetap di kisaran US$ 52,20 – US$ 55,22 per barel dalam beberapa waktu ke depan selagi belum ada katalis signifikan yang mempengaruhi harga,” kata Deddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News