Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mayoritas perusahaan konglomerat masih meraup cuan tebal hingga kuartal ketiga 2022. Lonjakan pendapatan maupun laba investasi telah menjadi pendongkrak bottom line emiten dari grup bisnis besar.
Setidaknya ada tiga faktor yang memoles kinerja emiten konglomerat. Pertama, Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Fajar Dwi Alfian menyoroti momentum sektoral. Menurutnya, bisnis komoditas terutama batubara masih menjadi unggulan.
"Kinerja sampai kuartal ketiga masih dipengaruhi oleh momentum sektoral. Sektor energi dan batubara berkinerja impresif, di tengah tingginya permintaan dan harga batubara global," ujar Fajar kepada Kontan.co.id, Minggu (20/11).
Contohnya, tengok saja duo Adaro milik konglomerat Garibaldi "Boy" Thohir. PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO)meraih laba bersih US$ 1,9 miliar, meroket 352,22% secara year on year (YoY). PT Adaro Minerals Indonesia Tbk (ADMR) juga berhasil mendongkrak laba bersihnya sebanyak 481,66% menjadi US$ 284,26 juta.
Baca Juga: Pasar Saham Dibayangi Banyak Sentimen, Berikut Proyeksi IHSG untuk Senin (21/11)
Kinerja emiten batubara Low Tuck Kwong, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) tak kalah mentereng. Laba bersih BYAN melompat 150,25% menjadi US$ 1,62 miliar. Kemudian, ada Grup Bakrie lewat PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang laba bersihnya meroket 473,76% menjadi US$ 365,49 juta.
Grup MNC milik taipan Hary Tanoesoedibjo tak mau ketinggalan mencicipi legitnya cuan dari komoditas batubara. Yakni melalui PT MNC Energy Investments Tbk (IATA) yang mengantongi laba bersih US$ 44,59 juta, meningkat 918,03% secara YoY.
Grup Astra juga meraup laba dari booming komoditas lewat salah satu anak usahaya, PT United Tractors Tbk (UNTR). UNTR meraih laba bersih Rp 15,86 triliun atau naik 103,07% secara YoY.
Faktor kedua adalah diversifikasi dan bisnis yang sejalan dengan momentum pemulihan ekonomi. Contohnya Grup Astra dengan solidnya kinerja induk usaha, PT Astra International Tbk (ASII). Lalu sektor keuangan, seperti kinerja PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dari Grup Djarum.
Baca Juga: Piala Dunia 2022 Segera Bergulir, Begini Dampaknya Terhadap Pasar Saham
Pengamat Pasar Modal, Riska Afriani melihat, grup bisnis dengan diversifikasi yang solid bisa menjaga kinerja secara lebih stabil. Diversifikasi memberikan daya tahan kuat terhadap krisis, serta menangkap peluang pada momentum sektoralnya.
"Emiten yang memiliki diversifikasi sektoral diuntungkan. Di tahun ini terutama dari kenaikan harga batubara, serta sektor keuangan dengan meningkatnya kredit, transaksi, dan basis nasabah," kata Riska.
Selain Grup Astra dan Grup Djarum, Riska juga menyoroti bisnis Grup Sinar Mas yang masih bergerak solid. Di sektor properti, ada PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Puradelta Lestari Tbk (DMAS) yang mampu menyumbangkan laba bersih.
Di sektor barang baku, duo emiten kertas PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk (TKIM) dan PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) membukukan kinerja mentereng. "Di industri ini pemulihannya terlihat cepat. Sedangkan properti memang perlu investasi jangka panjang. DMAS terus naik, BSDE bisa stabil," terang Riska.
Baca Juga: Kompak Menguat, Ini Harga Saham BUMI & GOTO pada Perdagangan Bursa Jumat (18/11)
Selanjutnya, faktor ketiga pemoles kinerja emiten konglomerat adalah investasi di sektor teknologi. Lonjakan signifikan dialami oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) yang laba bersihnya meroket 2.454% secara YoY menjadi Rp 5,54 triliun.
Laba atas investasi neto EMTK menjadi pendorong dengan kenaikan 1.741,6% secara YoY menjadi Rp 5,06 triliun. Dari sederet portofolio investasinya, EMTK memiliki saham di PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
Menurut Fajar, hasil tersebut merupakan buah dari strategi Grup Emtek yang gencar menanamkan investasi jauh sebelum masa pandemi. Sehingga ketika sektor teknologi semakin naik daun selama pandemi, Grup Emtek bisa memetik hasilnya.
Sedangkan Riska punya catatan, lonjakan laba atas investasi berpotensi tidak stabil alias terjadi secara musiman. "Sehingga perlu dicermati lagi. Untuk investor biasanya lebih suka yang labanya naik berkelanjutan," ujarnya.
Baca Juga: GOTO PHK Massal, 1300 Karyawan Dijanjikan Kompensasi, Laptop Boleh Dimiliki
Rekomendasi Saham
Analisa Riska, ekspektasi pelaku pasar terhadap kinerja kuartal ketiga sudah tercermin pada harga sahamnya. Namun, pelaku pasar mesti mencermati sentimen sektoral yang terjadi pada kuartal IV ini, misalnya pada emiten batubara.
Saran Riska, emiten terkait batubara seperti ADRO dan UNTR masih menarik dikoleksi, setidaknya hingga kuartal gpertama 2023. Tapi setelah itu, pelaku pasar perlu wait and see dan mencermati pergerakan harga komoditasnya.
Selain itu, Riska memberikan rekomendasi buy untuk BBCA, ASII, TKIM, dan INKP. Fajar juga memandang harga saham emiten konglomerat telah priced in oleh pasar. Dia menjagokan saham ASII yang secara valuasi masih relatif murah, dengan nilai price to earning ratio (PER) sekitar 8x.
Fajar bilang, PER ASII saat ini berada di bawah rata-rata historis yang sebesar 12x. Secara teknikal, downtrend saham ASII sekarang bisa menjadi momentum untuk averaging down dengan support Rp 5.850 dan resistance pada Rp 6.700.
Baca Juga: Simak Prediksi Pergerakan IHSG untuk Pekan Depan
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo juga menganalisa laju saham emiten konglomerat mulai melambat. Praska memperkirakan pergerakan saham akan lebih dipengaruhi proyeksi pasar terhadap kinerja kuartal IV. Di tengah kenaikan suku bunga dan proyeksi ekonomi pada tahun 2023.
Praska pun menyodorkan empat grup konglomerat. Dari Grup Bakrie, pelaku pasar bisa mencermati BUMI dengan target harga Rp 200. Untuk Grup Salim, Praska memilih PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dengan target harga Rp 6.900 dan PT Indomobil Sukses Internasional dengan target Rp 1.100.
Dari Grup Sinarmas, Praska mrekomendasikan INKP dengan target Rp 11.000, TKIM untuk target harga Rp 10.300, dan DMAS dengan target Rp 180. Di Grup Astra, pelaku pasar bisa mengoleksi saham UNTR dengan target Rp 30.800 dan ASII untuk target harga Rp 6.900.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News