Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham emiten berkapitalisasi besar alias big caps biasanya jadi pilihan para investor yang hendak berinvestasi jangka panjang, mengingat pergerakannya kerap sejalan dengan kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) secara keseluruhan.
Namun, kenyataannya, tak semua saham big caps bisa menjadi pilihan investasi jangka panjang lantaran kinerjanya yang masih kurang baik.
Melansir laman Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menjadi emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar per November 2024, yaitu Rp 1.205,01 triliun.
Baca Juga: BBRI, BMRI, TLKM, BBCA Jadi Top Leaders Saat IHSG Kembali ke Atas 7.000
Di posisi kedua ada PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dengan kapitalisasi pasar Rp 886,33 triliun per November 2024. Di tempat ketiga ada PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dengan kapitalisasi pasar Rp 652,66 triliun.
Lalu, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) dengan kapitalisasi pasar Rp 652,5 triliun per November 2024. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) berkapitalisasi pasar Rp 637,68 miliar. PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) Rp 601,25 triliun.
Kemudian, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) berkapitalisasi pasar Rp 568,26 triliun. PT Dian Swastatika Sentosa (DSSA) Rp 279,90 triliun. PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) Rp 268,45 triliun.
Di posisi 10, ada PT Pantai Indah Kapuk Tbk (PANI) dengan kapitalisasi pasar Rp 262,53 triliun.
Selain dari 10 besar emiten tersebut, ada beberapa emiten yang masuk dalam 30 besar big caps per November 2024 yang menjadi sorotan.
Yaitu, PT Astra Internasional Tbk (ASSI) dengan kapitalisasi pasar Rp 206,466 triliun, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) berkapitalisasi pasar Rp 183,88 triliun, dan PT Indosat Tbk (ISAT) Rp 77,4 triliun, dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) dengan kapitalisasi pasar Rp 138,77 triliun
Lalu, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) Rp 132,43 triliun, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) Rp 75,60 triliun, PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) Rp 71,14 triliun, PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) Rp 66,29 triliun, dan PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) Rp 63,97 triliun.
Mengingat tulisan ini dibuat untuk melihat kinerja dan prospek jangka panjang, BREN dan AMMN dikecualikan dalam melihat kinerja saham dalam lima tahun, lantaran mereka baru tercatat di bursa kurang dari tiga tahun.
Melihat kinerja sahamnya per Senin (23/12), harga saham BBCA naik 63,32% dalam lima tahun terakhir. Saham BYAN melesat 1.139,33% dalam lima tahun terakhir. Saham BBRI naik 6,07% dalam lima tahun terakhir.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham JPFA, PNLF, MAPA, dan PANI untuk Perdagangan Hari Ini (23/12)
Lalu, TPIA sahamnya naik 292,6% dalam lima tahun terakhir. Saham BMRI naik 57,97% dalam lima tahun terakhir. DSSA naik sahamnya 1.663,45% dalam lima tahun terakhir. Saham PANI meroket 3.245,49% dalam lima tahun terakhir.
Dari 10 besar ini, hanya TLKM yang sahamnya anjlok 40,72% dalam lima tahun terakhir.
Fath Aliansyah, Senior Research Analyst Lotus Sekuritas mengatakan, hal yang menarik saat ini adalah saham-saham dengan valuasi tergolong premium, seperti DSSA, AMMN, BREN, dan PANI justru menjadi penggerak utama IHSG di tahun ini.
Di sisi lain, saham-saham bluechips seperti BBRI, TLKM, BBNI, dan ASII malah menjadi pemberat indeks meskipun valuasinya tergolong murah dan memberikan dividen besar.
Hal ini salah satunya adalah efek dari banyaknya aliran dana asing yang keluar dan mengurangi posisi portfolio mereka di saham-saham yang jadi pemberat IHSG.
“Aliran masuk dana asing bisa kembali lagi terjadi apabila nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bisa menguat kembali dan adanya rotasi dana dari luar negeri untuk masuk ke emerging market, seperti Indonesia,” ujarnya kepada Kontan, Senin (23/12).
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan melihat, kinerja fundamental dan saham big caps hari ini memang beragam, karena terdiri dari berbagai sektor yang memiliki karakteristik berbeda.
Saham seperti DSSA, BYAN, dan GEMS menjadi menarik dalam lima tahun terakhir terutama didukung oleh commodity boom yang mencapai puncaknya di tahun 2022.
“Lonjakan harga batu bara memberikan kontribusi besar terhadap laba bersih dan arus kas perusahaan-perusahaan tersebut,” ujarnya kepada Kontan, Senin (23/12).
Sebaliknya, saham seperti UNVR dan HMSP mencatatkan imbal hasil negatif, yang merefleksikan penurunan kinerja fundamental mereka.
“Tantangan seperti kenaikan cukai rokok dan persaingan yang semakin ketat di sektor konsumsi menjadi faktor utama yang membebani kinerja saham-saham ini,” paparnya.
Untuk tahun 2025, jawara big caps berada di sektor komoditas energi, seperti BREN, yang mendapat manfaat dari permintaan energi yang tinggi dan ekspansi bisnis berkelanjutan.
Selain itu, saham consumer seperti ICBP dan INDF juga menunjukkan performa yang solid, bertahan di tengah tekanan indeks berkat stabilitas fundamental mereka.
“Hal ini menunjukkan daya tahan sektor konsumsi di tengah tantangan makroekonomi, seperti inflasi dan penurunan daya beli masyarakat,” ungkapnya.
Baca Juga: Masuk Indeks ESGS Kehati, Ini Strategi Bank Raya (AGRO) Kembangkan Portofolio Hijau
Menurut Ekky, pada tahun 2025, ada beberapa emiten big caps yang berpotensi mencatatkan kinerja positif, terutama dari sektor komoditas dan energi.
Energi hijau akan menjadi fokus utama yang didukung oleh kebijakan pemerintah, menjadikan saham seperti ADRO dan BREN menarik untuk diikuti.
“Ketiga emiten ini diuntungkan oleh tren transisi energi global dan dorongan regulasi untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia,” paparnya.
Selain itu, adanya berita stimulus untuk sektor perbankan di awal tahun berpotensi memperkuat kinerja bank-bank besar seperti BBCA, BMRI, dan BBRI.
“Stimulus ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit, meningkatkan profitabilitas, dan memperkuat daya tahan sektor perbankan, yang merupakan motor utama ekonomi domestik,” ungkapnya.
Namun, tetap ada beberapa risiko yang perlu diwaspadai oleh para investor. Misalnya, penurunan harga komoditas dapat menjadi tantangan bagi emiten berbasis tambang dan energi fosil, yang sangat bergantung pada permintaan global.
“Di sisi lain, kekhawatiran mengenai perang tarif atau proteksionisme global dapat menimbulkan ketidakpastian bagi sektor-sektor yang berorientasi ekspor, termasuk beberapa emiten besar di Indonesia,” katanya.
Research Analyst Panin Sekuritas, Aqil Triyadi mengatakan, para investor senang dengan emiten yang memiliki kinerja fundamental yang stabil. Sektor pilihan para investor pun masih berkutat pada perbankan dan energi.
“Untuk DSSA, dia saat ini punya diversifikasi bisnis ke energi terbarukan, sehingga punya prospek bisnis yang lebih panjang,” ujarnya saat ditemui Kontan, Senin (23/12).
Sebagai emiten pilihan, Aqil melihat emiten dari sektor perbankan dan telekomunikasi masih bisa dipilih lantaran masih punya ruang untuk bertumbuh dalam lima tahun ke depan.
Baca Juga: Telkom Indonesia (TLKM) Proyeksikan Trafik Data Melonjak 14,8% Selama Periode Nataru
Kinerja ISAT dilihat Aqil bisa makin bertumbuh dengan inovasi artificial intelligence (AI) dan kerja samanya dengan NVIDIA. Untuk TLKM, kinerjanya melambat lantaran pendapatan yang stagnan akibat mandeknya pertumbuhan ARPU dan jumlah pelanggan.
“Namun, dengan upaya penurunan harga langganan kerjasama dengan Starlink, TLKM punya ruang untuk bangkit dalam beberapa waktu mendatang,” ujarnya.
Dari sektor perbankan, BBCA dan BMRI masih menunjukkan kinerja yang positif, khusunya dari kenaikan kredit dan rendahnya non-performing loan (NPL). Lain halnya dengan BBRI yang banyak dilego asing dan investor domestik lantaran ada masalah dari naiknya tingkat NPL.
Aqil menuturkan, setidaknya ada tiga hal yang harus dilihat investor untuk pilah-pilih saham emiten big caps yang cocok untuk investasi jangka panjang. Yaitu, valuasi harga saham, pertumbuhan bisnis, dan diversifikasi bisnis.
Meskipun belum memberikan target harga, tetapi Aqil merekomendasikan buy untuk BBCA, BMRI, BBNI, TLKM, dan ISAT untuk jangka panjang.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta menambahkan, kinerja para emiten-emiten big caps di tahun ini sebenarnya masih kurang dari ekspektasi. Alhasil, pergerakan harga sahamnya pun tidak terlalu ngebut di tahun ini.
“Sentimennya tahun ini berasal dari efek Donald Trump dan juga keputusan investor yang cenderung wait and see di tahun politik, mengingat ada Pilpres dan Pilkada di tahun ini,” ujarnya kepada Kontan, Senin (23/12).
Baca Juga: Beda Arah, Cermati Harga Saham ADRO, MDIY, dan BBRI pada Akhir Bursa Senin (23/12)
Untuk tahun depan, ada sejumlah sentimen yang bisa meningkatkan kinerja para emiten big caps. Misalnya, kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) yang mungkin masih akan menekan suku bunga, serta kebijakan fiskal dan kebijakan lain dari pemerintahan baru yang sudah mulai jelas di tahun depan.
Menurut Nafan, strategi yang bisa diterapkan investor dalam memilih saham emiten big caps untuk investasi jangka panjang adalah valuasi harga saham, kinerja fundamental, likuiditas, dan tren harga saham yang positif.
“Jadi, bisa dipilih emiten yang tren pergerakan harga sahamnya cenderung bullish,” paparnya.
Nafan pun merekomendasikan accumulative buy untuk AMMN, ASII, dan TLKM dengan target harga terdekat masing-masing Rp 9.350 per saham, Rp 5.050 per saham, dan 2.720 per saham.
Untuk perbankan, Nafan merekomendasikan accumulative buy untuk BBCA, BBNI, BBRI, dan BMRI dengan target harga terdekat masing-masing Rp 10.075 per saham, Rp 4.380 per saham, Rp 4.410 per saham, dan Rp 6.050 per saham.
Sementara, rekomendasi buy on weakness diberikan untuk ICBP dengan target harga terdekat Rp 11.675 per saham.
Selanjutnya: Aplikasi PINTU Tutup 2024 dengan Positif, Trading Volume &Downloaders Meningkat Pesat
Menarik Dibaca: Toyota Yaris Cross HEV Meraih Penghargaan Most Worthy Car di Uzone Choice Award 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News