Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah investor kakap asing terpantau tak terlalu tertarik untuk berinvestasi di beberapa saham berkapitaliasi pasar besar alias big caps. Padahal, sepuluh besar saham big caps di Bursa biasanya jadi sarana investasi hedgefund asing dan menjadi penguat kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Asal tahu saja, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,29% atau 94,11 poin ke 7.214,56 hingga akhir perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada perdagangan Kamis (14/11). IHSG terpantau sudah turun 0,80% sejak awal tahun alias year to date (ytd).
Melansir RTI, aliran dana asing kembali keluar Rp 733,31 miliar di pasar reguler pada perdagangan hari ini. Dana asing telah mengalir keluar Rp 11,6 triliun dalam sebulan terakhir dan lepas Rp 14 triliun ytd di pasar reguler.
Dalam sebulan terakhir, investor asing lebih banyak melakukan aksi jual dengan nilai total Rp 89,6 triliun dan nilai pembelian hanya Rp 77 triliun. Berbanding terbalik, investor domestik lebih banyak melakukan aksi beli dengan nilai total Rp 160,4 triliun dan melakukan aksi jual dengan nilai total Rp 147,8 triliun.
Baca Juga: BEI Resmi Rilis Single Stock Futures, Bisa Jadi Sarana Hedging
Sejak awal tahun, secara volume, investor asing cenderung melakukan aksi jual dengan melepas 966,8 miliar saham ytd dan hanya membeli 900,6 miliar saham ytd. Di sisi lain, investor domestik justru lebih banyak masuk, dengan saham dibeli sebanyak 3,3 triliun ytd dan melepas 3,2 triliun saham ytd.
Melansir data BEI, saham dengan kapitalisasi pasar terbesar saat ini dipegang PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai market cap Rp 1,23 triliun. Diikuti PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dengan market cap Rp 940 miliar dan PT Amman Mineral International Tbk (AMMN) Rp 678 triliun.
Lalu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) menggenggam market cap Rp 675 miliar, PT Bayan Resource Tbk (BYAN) Rp 598 miliar, PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) Rp 590 triliun, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 589 miliar.
Kemudian, PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) berkapitalisasi pasar Rp 292 miliar, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) Rp 251 miliar, dan PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) Rp 249 miliar.
Berdasarkan riset KONTAN, 10 Saham big caps tak banyak dapat dukungan hedgefund global. Misalnya, Blackrock Inc ogah memegang BYAN, DSSA, dan PANI. Per 13 November, Blackrock paling banyak menggenggam saham BBCA dari 10 besar big caps, yaitu sebanyak 1,94 miliar saham atau 1,59% dari total saham perseroan.
Vanguard juga tidak mendekap ketiga saham tersebut, plus BREN. Per 13 November, Vanguard paling banyak memegang saham BMRI dengan total kepemilikan 2,62 miliar saham atau 2,15% dari total saham perseroan.
JPMorgan tercatat juga tidak memiliki saham BREN, TPIA, BYAN, dan DSSA. Per 13 November, JPMorgan paling banyak memegang saham BBRI dengan total kepemilikan 1,96 juta saham atau setara 1,31% dari total saham perseroan.
Certified Elliott Wave Analyst Master Kanaka Hita Solvera Daniel Agustinus melihat, keputusan untuk menaruh dana di emiten tertentu sangat bergantung dari penilaian masing-masing hedgefund. Biasanya penilaian itu ada pengaruh dari likuiditas atau besaran transaksi per hari.
“Seperti pada contoh FTSE kemarin yang memasukan BREN ke indeks mereka, tapi kemudian dikeluarkan kembali akibat tidak memenuhi syarat free float,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (14/11).
Dana asing yang masih terus keluar dari bursa domestik dilihat tengah parkir di pasar saham Amerika Serikat (AS). Aliran dana asing yang keluar saat ini juga dilihat masuk ke aset kripto dan dolar AS.
Hal itu dipicu oleh unggulnya Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) AS.
“Di samping itu juga, data inflasi AS kemarin cenderung naik, sehingga memunculkan kekhawatiran investor bahwa The Fed tidak jadi memangkas suku bunga Desember nanti,” ungkapnya.
Daniel memproyeksikan IHSG akan ada di level 7.600 di akhir tahun 2024. Lantaran, pasar dinilai masih masih menunggu realisasi pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI) di bulan November ini dan juga pemangkasan oleh The Fed pada Desember nanti.
“Pada saat itu, aliran dana asing akan masuk lagi ke emerging market, terutama Indonesia. Tapi, harus menunggu The Fed benar-benar memangkas suku bunga,” paparnya.
Baca Juga: BEI Resmi Rilis Single Stock Futures, Begini Cara Kerjanya
Pasar juga masih menantikan stimulus jumbo yang akan digelontorkan oleh China untuk mendorong perekonomian domestik mereka.
Selain sektor perbankan, sektor consumer cyclical akan mengalami perbaikan kinerja di akhir tahun 2024. Hal ini didorong oleh kinerja emiten konsumer yang biasanya naik di kuartal IV lantaran ada kenaikan konsumsi di musim liburan akhir tahun.
Daniel pun merekomendasikan beli untuk BBRI, BBCA, dan BMRI dengan target harga masing-masing Rp 5.000 per saham, Rp 12.000 per saham, dan Rp 7.000 per saham.
Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, pilihan para hedgefund global untuk tak menggenggam sejumlah saham top 10 big caps bursa domestik sejalan dengan tren keluarnya aliran dana asing yang tercatat per hari ini.
“Para hedgefund menanti sejumlah sentimen positif yang akan menggerakan pasar saham kita. Misalnya, realisasi pemerintah dalam mewujudkan Danantara,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (14/11).
Aliran dana asing masih keluar dari pasar saham lantaran hasil Pilpres AS dan stimulus ekonomi yang diberikan oleh China dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi domestik Negeri Tirai Bambu. Alhasil, pemerintah Indonesia juga harus mewujudkan sejumlah kebijakan yang pro pasar agar aliran dana asing bisa kembali masuk.
“Ini bisa ditagih dari janji politik Presiden Prabowo Subianto yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8%,” tuturnya.
Saat ini, aliran dana asing yang keluar dari pasar saham Indonesia juga tengah parkir ke aset kripto. Hal ini juga didorong dari janji Donald Trump untuk mewujudkan insentif dalam rangka memajukan sektor teknologi di AS.
“Jadi, wajar jika dana masuk ke pasar kripto dan menyebabkan harga bitcoin menyentuh all time high (ATH)usai keunggulan Trump dalam Pilpres AS,” ungkapnya.
Di sisa tahun 2024 ini, masih ada sejumlah sentimen positif yang kemungkinan bisa mendorong aliran dana asing masuk kembali ke Indonesia. Yaitu, perbaikan konsumsi masyarakat di musim liburan akhir tahun, Santa Claus Rally, dan window dressing.
Dalam skenario bull, IHSG diproyeksikan Nafan akan ada di level 7.700 di akhir tahun 2024.
“Data inflasi CPI AS masih bagus, sehingga harapannya bisa mendorong The Fed untuk menurunkan suku bunga yang akan diikuti oleh Bank Indonesia nanti,” paparnya.
Nafan pun merekomendasikan hold untuk BREN, TPIA, DSSA, dan PANI dengan target harga masing-masing Rp 7.000 per saham, Rp 6.700 per saham, Rp 36.800 per saham, dan Rp 12.250 per saham. Rekomendasi sell on strength disematkan untuk BYAN di kisaran Rp 17.800 - Rp 18.000 per saham.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana melihat, hedgefund global, seperti BlackRock, Vanguard, dan JPMorgan, memiliki strategi seleksi ketat berdasarkan risiko dan prospek jangka panjang.
Saham-saham seperti BYAN, DSSA, dan PANI mungkin kurang memenuhi kriteria hedgefund global, karena volatilitas sektor, risiko lingkungan, atau ketidakpastian regulasi yang tinggi.
Sektor energi dan bahan baku, misalnya, menghadapi ketidakpastian dalam transisi energi bersih dan standar ESG yang semakin ketat. Investor asing cenderung melakukan rotasi sektor dengan mengurangi eksposur pada saham berisiko tinggi atau sektor yang dianggap tidak ramah lingkungan dan lebih memilih sektor keuangan, teknologi, atau konsumsi.
“Sektor keuangan, khususnya perbankan, masih menarik bagi mereka lantaran stabilitas dan potensi pertumbuhan dari ekonomi domestik yang besar,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (14/11).
Investor asing saat ini masih banyak keluar dari pasar saham domestik karena beberapa faktor. Seperti, ketidakpastian global akibat suku bunga tinggi, penguatan dolar AS, dan preferensi alokasi dana ke aset yang lebih stabil seperti obligasi AS.
Baca Juga: Ini Saham-Saham yang Banyak Dikoleksi Asing Kemarin Saat IHSG Tertekan
Arus keluar dana asing ini juga didorong oleh kekhawatiran terkait kondisi ekonomi global dan likuiditas yang menurun, terutama dengan ancaman perlambatan ekonomi di beberapa negara maju.
“Sementara itu, investor domestik justru lebih banyak membeli, melihat momentum valuasi yang rendah sebagai peluang,” paparnya.
Aksi jual asing ini masih bisa berlanjut hingga suku bunga global stabil atau menurun. Saat iklim pasar lebih kondusif dan potensi pertumbuhan di negara berkembang kembali menarik, dana asing kemungkinan akan mengalir kembali ke pasar saham domestik
“Diperkirakan sektor keuangan dan konsumsi akan menjadi incaran pertama ketika arus dana kembali, terutama saham-saham yang fundamentalnya kuat dan valuasinya menarik,” ungkapnya.
Berkaca dengan kondisi pasar saat ini, Hendra melihat masih banyak sentimen negatif yang akan memberatkan kinerja IHSG ke depan. Misalnya, wacana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) di tengah daya beli masyarakat yang masih rendah.
“Inflasi AS juga naik di bulan ini. Peluang The Fed untuk menurunkan suku bunga dalam waktu dekat jadi kecil,” paparnya.
Dengan skenario optimistis, Hendra memproyeksikan IHSG akan ada di level 7.700 di akhir tahun 2024. Sementara, dengan skenario pesimistis, IHSG akan ada di level 7.350 di akhir Desember nanti.
Terkait kinerja masing-masing emiten big caps, BBCA, BMRI, dan TLKM diuntungkan oleh pertumbuhan ekonomi domestik yang stabil. Prospek sektor keuangan dan konsumsi tetap cerah, terutama jika inflasi dan suku bunga dapat dikendalikan, sehingga mendorong konsumsi rumah tangga.
Namun, risiko ketidakpastian global dan tantangan sektor energi akan membayangi saham big caps di sektor energi dan bahan baku. Di sisi lain, sektor teknologi dan infrastruktur juga memiliki peluang pertumbuhan jangka panjang yang kuat.
“Untuk kuartal IV hingga 2025, BBCA, BMRI, dan TLKM diperkirakan akan tetap dominan di sektor masing-masing. BBCA yang tetap unggul di sektor perbankan,” paparnya.
Hendra pun merekomendasikan beli untuk BBCA, BMRI, dan TLKM dengan target harga masing-masing Rp 10.500 per saham, Rp 7.000 per saham, dan Rp 3.000 per saham
Kinerja BBCA berpotensi tumbuh di tengah stabilitas ekonomi dan konsistensi profitabilitas. BMRI dinilai menarik karena penyaluran kredit yang kuat dan diversifikasi bisnis. Sementara, kinerja TLKM akan didukung pertumbuhan bisnis digital.
Sementara, untuk BREN, TPIA, dan PANI tetap layak diperhatikan oleh para investor.
BREN memiliki prospek bisnis di sektor energi terbarukan. Hendra memberikan target harga untuk BREN Rp 7.800 per saham.
Kinerja TPIA menarik karena mengandalkan penguatan sektor petrokimia. Hendra memberikan target harga Rp 7.850 per saham.
Sedangkan, PANI kinerjanya ke depan berpotensi didukung oleh pertumbuhan ekspansi. Target harga untuk PANI ada di level 17.375 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News