Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masalah yang mendera PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex memasuki babak baru, setelah penangkapan Komisaris Utama Sritex Iwan Setiawan Lukminto oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Selasa (20/5) malam.
Iwan S. Lukminto diduga terlibat dalam kasus pemberian kredit dari sejumlah bank dengan nilai sekitar Rp 3,6 triliun. Kejagung pun turut memproses empat bank selaku pemberi pinjaman kredit yang terdiri dari 3 bank daerah dan 1 bank pelat merah. Saat ini, status mantan Direktur Utama Sritex periode 2014-2023 tersebut adalah sebagai saksi.
Penahanan Iwan S. Lukminto seolah menjadi akumulasi atas berbagai masalah yang terjadi di tubuh Sritex. Sebelumnya, Sritex yang bergerak di industri tekstil telah gulung tikar dan terpaksa merumahkan lebih dari 10.000 karyawan sejak 1 Maret 2025 lalu.
Baca Juga: Begini Kabar Terbaru dari BEI Soal Proses Delisting Sritex (SRIL)
Penghentian operasi ini terjadi setelah perusahaan dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Putusan pengadilan mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) salah satu krediturnya yaitu PT Indo Bharat Rayon.
Kala itu, berbagai upaya hukum telah dilakukan untuk membatalkan putusan tersebut. Mulai dari mengajukan banding, kasasi hingga peninjauan kembali (PK). Namun, tetap saja permohonan kasasi Sritex ditolak Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2024 dan PK pun ditolak MA. Alhasil status pailit terhadap Sritex berkekuatan hukum tetap atau dinyatakan inkrah.
Sritex memang memiliki utang yang besar. Merujuk laporan keuangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), total kewajiban atau liabilitas sebesar US$ 1,61 miliar per kuartal III-2024, melampaui nilai asetnya sebesar US$ 594,01 juta. Liabilitas Sritex pun naik 0,63% dibandingkan realisasi liabilitas perusahaan asal Solo tersebut pada akhir 2023 senilai US$ 1,60 miliar.
Dari sisi kinerja, penjualan neto Sritex per kuartal III-2024 lalu merosot 19,15% year on year (yoy) menjadi US$ 200,93 juta. Sritex juga menderita rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$ 66,05 juta per kuartal III-2024, atau turun 42,66% yoy.
Saham Sritex yang berkode SRIL pun telah disuspensi BEI sejak 18 Mei 2021 lalu usai emiten tersebut menunda kewajiban pembayaran bunga surat utang. Saham SRIL terkapar di level Rp 146 per saham dengan market cap senilai Rp 2,98 triliun per Rabu (21/5).
Pengamat Pasar Modal sekaligus Direktur Avere Investama Teguh Hidayat berpendapat, biasanya kasus yang ditangani Kejagung cenderung memiliki motif politik bila berkaca dari kasus-kasus terdahulu. Hal demikian kemungkinan juga berlaku untuk kasus penahanan Iwan S. Lukminto oleh Kejagung.
"Selama ini pun Keluarga Lukminto menjadi salah satu pengusaha atau konglomerat yang ikut bermain di politik melalui perusahaannya Sritex, meski dilakukan secara hati-hati dan tidak terang-terangan seperti konglomerat lainnya," kata dia, Rabu (21/5).
Baca Juga: Sritex (SRIL) Berpeluang Didepak dari Bursa Saham Usai Berhenti Beroperasi
Di luar itu, Sritex dinilai sebagai emiten yang gagal dalam menerapkan tata kelola usaha atau good corporate governance (GCG) dengan baik. Sritex telah bermasalah dengan pembayaran utang sejak 2021 lalu dan baru mencapai puncaknya ketika terpaksa pailit jelang akhir tahun 2024.
Dari sisi investor, masalah yang ada si Sritex jelas bikin pusing. Sebab, ada banyak investor ritel yang sahamnya nyangkut di Sritex, apalagi setelah saham emiten tersebut disuspensi.
Teguh menilai, sampai saat ini Sritex tak kunjung delisting dari bursa saham lantaran ada kekhawatiran timbulnya preseden buruk bagi BEI maupun pasar modal Indonesia.
"Kalau emiten kecil di-delisting itu sudah biasa. Tapi, ini Sritex yang merupakan perusahaan besar di Solo Raya, kok bisa delisting?" tukas dia.
Belum lagi, Sritex juga memiliki utang ke berbagai bank di Indonesia maupun bank asing. Masalah pailit yang dihadapi Sritex bisa saja menimbulkan dampak sistemik terhadap ekosistem lembaga keuangan di Tanah Air.
Dia memperkirakan, nasib Sritex masih akan menggantung dalam beberapa waktu mendatang. Kalaupun ada kesempatan untuk menyelamatkan Sritex, hal itu bisa dilakukan dengan mendatangkan investor baru yang mau mengelola perusahaan tersebut, termasuk menyingkirkan pemilik lama yang tersandung kasus.
Sementara itu, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, sudah sepatutnya BEI selaku regulator di pasar saham memperkuat kebijakan untuk melindungi para investor dari emiten-emiten bermasalah yang tidak menerapkan prinsip tata kelola usaha yang baik dan benar.
"BEI bersama stakeholder lainnya perlu meningkatkan peran dalam memberi literasi pasar modal bagi investor, supaya mereka tidak FOMO (fear of missing out) dan terjebak di saham yang bermasalah," imbuh dia, Rabu (21/5).
Di samping itu, Nafan menyarankan, jika investor memiliki dana dingin berlebih namun sudah terlanjur nyangkut di saham gorengan atau saham bermasalah, maka investor tersebut sebaiknya segera mendiversifikasikan portofolio dengan masuk ke saham-saham berfundamental baik dan punya potensi pertumbuhan positif secara jangka panjang.
Dengan begitu, investor bisa meminimalisir kerugian sekaligus meraih cuan dari upaya diversifikasi tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News