Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai tukar rupiah kembali terpuruk dengan pelemahan ke level Rp 16.265 per dolar Amerika Serikat (AS), Kamis (30/5). Pelemahan mata uang garuda diperkirakan akan semakin parah karena konflik Timur Tengah belum usai.
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, rupiah saat ini sudah melemah ke level atas Rp 16.200 per dolar AS, sehingga ada kemungkinan besar nilai tukar di bulan Juni akan menyentuh level Rp 16.350 per dolar AS.
Ibrahim menyebutkan, faktor-faktor yang memengaruhi pelemahan nilai tukar dari eksternal diantaranya ketegangan di Timur Tengah terutama Israel yang melakukan penyerangan terhadap Rafah, Palestina. Kemungkinan akan terjadi perang besar di wilayah tersebut seiring Mesir, Lebanon, Yaman, Syria, Iran akan melakukan kecaman terhadap Israel.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) pun sudah melemparkan ultimatum terhadap Israel agar tidak melakukan penyerangan. Bahkan, Jerman siap untuk menangkap Perdana Menteri Israel, apabila diberikan wewenang.
Konflik yang terjadi di Timur Tengah turut akan berdampak pada kenaikan harga minyak mentah dunia. Sebab, adanya kemungkinan konflik terus berkembang dapat mengerek harga minyak ke level US$100 per barel.
“Sehingga pada saat dolar mengalami penguatan, kemudian harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan, ini kemungkinan besar akan membuat negara-negara akan terjadi krisis ekonomi,” ujar Ibrahim dalam keterangannya, Kamis (30/5).
Baca Juga: Wall Street Turun Setelah Data Ekonomi Dirilis Lebih Rendah
Di sisi lain, Ibrahim menambahkan, Bank Sentral Amerika diperkirakan masih tetap bertahan dengan suku bunga tinggi, bahkan berpotensi menaikkan suku bunga. Proyeksi tersebut karena menilai inflasi inti masih stagnan belum menurun ke level target 2%.
Produk Domestik Bruto (PDB) AS yang direvisi untuk kuartal pertama 2024 juga akan berpengaruh bagi keputusan suku bunga. Adapun perekonomian AS tumbuh sebesar 1,3% secara tahunan pada kuartal pertama tahun 2024, di bawah perkiraan awal sebesar 1,6% dan 3,4% pada kuartal keempat.
Ibrahim menilai, faktor lesunya PDB Amerika itu akan membuat dolar AS dan imbal hasil (yield) obligasi AS terus mengalami peningkatan, baik jangka menengah ataupun jangka panjang.
Dari internal, konflik timur tengah yang belum tahu ujungnya akan berpengaruh bagi neraca perdagangan Indonesia. Pasalnya, kemungkinan besar nilai ekspor-impor Indonesia akan menurun akibat konflik di Timur Tengah.
Ibrahim menjelaskan, jalur untuk perdagangan mengalami hambatan karena Laut Merah terus melakukan pengawasan terhadap kapal-kapal asing. Di sisi lain, harga komoditas yang terus mengalami penurunan akan berdampak terhadap ekspor Indonesia.
“Menurunnya harga komoditas akan berdampak cukup luar biasa, sehingga ketahanan ekonomi kita akan sedikit goyah,” imbuhnya.
Baca Juga: IHSG dan Rupiah Kompak Anjlok, Begini Strategi Bagi Investor
Lantas, bagaimana untuk mempertahankan ekonomi domestik terus kuat, kemudian mata uang rupiah bisa kembali stabil?
Menurut Ibrahim, Pemerintah Indonesia harus menggelontorkan stimulus berupa bantuan sosial (bansos) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) karena itulah satu-satunya cara agar masyarakat konsumsi masyarakat kembali berputar. Selain itu, pengurangan subsidi bahan bakar minyak untuk mengakali dampak dari kenaikan harga minyak mentah dunia.
Pemerintah juga perlu melakukan intervensi langsung dengan cara menaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). Selain melakukan intervensi di pasar DNDF terutama di valuta asing dan obligasi.
Ibrahim mencermati bahwa Bank Indonesia masih memiliki ruang untuk mengerek suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) karena target suku bunga tinggi BI di level 6,75%. Oleh karena itu, BI dianggap masih ada waktu untuk menaikkan suku bunga di bulan Juni sebesar 25 bps.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News