Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor ritel harus lebih waspada dalam menyikapi konten unggahan para influencer saham. Sebab, tak semua hal yang disampaikan para influencer saham itu merupakan saran yang baik dalam mengelola investasi.
Hal itu pun membuat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah untuk menertibkan kiprah para influencer saham, khususnya jika apa yang mereka lakukan tidak memberikan dampak positif untuk literasi keuangan.
Berdasarkan catatan KONTAN, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen (KE PEPK) OJK, Friderica Widyasari Dewi alias Kiki, bilang terdapat potensi risiko dari kondisi tersebut. Sebab, tidak semua influencer memiliki kompetensi yang memadai terkait informasi yang disampaikan dan memahami ketentuan peraturan perundangan-undangan.
“Mengingat besarnya pengaruh yang dimiliki oleh influencer di media sosial terhadap keputusan finansial publik, tanpa mengurangi potensi influencer dalam melebarkan jangkauan edukasi kepada masyarakat,” ujarnya.
Kiki mengatakan, OJK tengah merancang skema pengaturan dan pengawasan agar influencer dapat meningkatkan kehati-hatian saat beraktivitas di media sosial.
Hal itu juga menyangkut adanya influencer yang melakukan kegiatan pengelolaan dana untuk investasi tanpa izin atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan izin yang dimiliki, sehingga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
“Ini untuk mengedepankan perlindungan konsumen dan mematuhi ketentuan perundang-undangan lainnya,” katanya.
Baca Juga: Perlu Lebih Berhati-hati, OJK akan Siapkan Aturan Pengawasan Influencer Saham
Direktur Ekuator Swarna Investama, Hans Kwee menilai, influencer saham memang memiliki banyak pengikut dan kata-kata mereka seringkali diikuti para investor. Hal ini akan menimbulkan masalah bila influencer tersebut tidak berniat baik, kurang pengetahuan, atau tidak kompeten.
“Memang banyak yang memberikan edukasi, tetapi ada juga influencer yang memberikan rekomendasi secara provokasi,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (12/3).
Menurut Hans, yang berhak menjadi influencer saham itu adalah mereka yang punya ilmu dan pengalaman di bidang saham dan investasi, sehingga ilmunya tidak menyesatkan investor lain.
OJK pun harus bisa melarang para influencer saham untuk memberikan memberikan rekomendasi tanpa dasar yang jelas. “Mungkin perlu sertifikasi (untuk para influencer saham), seperti penasihat investasi,” ungkapnya.
Di sisi lain, investor ritel juga harus belajar agar tidak mudah di terpengaruh oleh rekomendasi yang diberikan oleh influencer tanpa alasan yang jelas.
“Setiap rekomendasi atau ajakan membeli dan menjual harus dicek kebenaran dan fundamental perusahaan atau fundamental aset yang dibeli,” paparnya.
Pengamat pasar modal sekaligus Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat melihat, influencer saham memang memiliki dampak yang besar dalam dinamika investasi di Indonesia. Tak jarang, influencer saham itu akhirnya seenaknya memberikan rekomendasi saham tanpa alasan jelas, hingga melakukan pengelolaan dana milik pihak ketiga untuk diinvestasikan ke saham.
“Banyak yang pom-pom saham supaya para pengikutnya beli saham itu, lalu mereka lepas saat banyak yang masuk. Alhasil, para investor ritel ini jadi rugi,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (12/3).
Menurut Teguh, peraturan pengawasan para influencer saham bisa dipertegas untuk melarang mereka mengelola dana pihak ketiga. Terkait pemberian rekomendasi saham, tugas OJK jauh lebih berat lantaran ranah ini masih abu-abu.
“Tidak bisa terlalu dibedakan antara yang pom-pom dengan yang betul-betul memberikan rekomendasi saham. Apalagi, saat ini IHSG masih lesu, jadi makin sulit. Tapi, minimal hal ini memang harus diatur,” ungkapnya.
Para influencer saham bisa saja diberi syarat untuk memiliki sertifikasi atau hanya dibatasi harus bekerja sama dengan pihak sekuritas atau manajer investasi (MI) jika ingin memberikan rekomendasi saham.
Namun, hal itu bukan suatu jaminan tidak akan terjadi pom-pom saham atau bahkan penipuan. Sebab, perusahaan yang sudah ada di bawah pengawasan OJK saja masih mampu melakukan penipuan dan investasi bodong.
“Ambil saja contoh kasus Jiwasraya atau Investree. Sertifikasi influencer saham itu ide bagus, tetapi tidak benar-benar mencegah terjadinya investasi bodong,” paparnya.
Alhasil, investor ritel pun didorong untuk tidak mudah percaya dengan mimpi yang terlalu indah akan hasil manis dari investasi. Sebab, modus penipuan para influencer saham biasa sama, yaitu menjual mimpi manis dengan pamer kekayaan hasil dari investasi.
“OJK juga harus ikut mengedukasi masyarakat soal investasi. Tapi, kembali lagi, investor juga harus bisa melihat bahwa apa pun yang terdengar terlalu muluk-muluk, kemungkinan besar memang scam,” katanya.
Pengamat Pasar Modal, Rita Efendy mengatakan, sorotan OJK terhadap influencer saham menunjukkan bahwa pengaruh mereka dalam ekosistem pasar modal semakin besar.
Di satu sisi, influencer saham dapat membantu meningkatkan literasi keuangan, terutama bagi investor pemula yang masih mencari informasi tentang investasi.
Namun, di sisi lain, tidak sedikit yang menyalahgunakan posisi mereka untuk memberikan rekomendasi tanpa dasar analisis yang didukung oleh data fundamental, chart atau berita. Bahkan, ada yang terlibat dalam praktik pump and dump, sampai ada yang menggalang dana untuk dikelola mereka tanpa ijin resmi dari otoritas.
“Pengaruh influencer saham di Indonesia cukup signifikan, karena banyak investor ritel yang cenderung mencari informasi investasi melalui media sosial. Sayangnya, banyak dari mereka yang mengikuti rekomendasi tanpa memahami risiko yang terlibat,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (12/3).
Menurut Rita, siapa saja yang berhak menjadi influencer saham seharusnya bergantung pada kapasitas dan kredibilitas dalam memberikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab.
Baca Juga: Mulai Menuai Kritik, OJK akan Siapkan Aturan Pengawasan Influencer Saham
Ada dua poin yang dapat diatur oleh regulator dalam menyusun aturan terkait influencer saham.
Pertama, soal pengetahuan dan pengalaman para influencer yang mendalam tentang bursa dan saham yg direkomendasikan. “Ini dibutuhkan jam terbang dan pengalaman di pasar modal yang sudah teruji,” ungkapnya.
Kedua, influencer saham juga harus menyebutkan terkait risiko investasi yang mereka sampaikan. “Tidak hanya membahas potensi keuntungan, tetapi mereka juga harus menjelaskan risiko yang ada dalam investasi,” tuturnya.
Rita pun menyarankan agar para influencer saham yang ingin memberikan analisis dan rekomendasi saham memiliki sertifikasi, seperti WPPE (wakil perantara penjamin and efek) atau sertifikasi pasar modal lainnya dari OJK.
“Hal ini akan memastikan bahwa mereka memiliki pengetahuan yang cukup dalam memberikan informasi investasi kepada publik,” katanya.
Di sisi lain, investor ritel juga harus lebih kritis dalam menyaring informasi dari influencer saham. Beberapa langkah yang bisa dilakukan para investor saham di antaranya adalah melakukan verifikasi sumber, memahami risiko investasi, menggunakan logika investasi, dan melakukan pembelajaran secara mandiri terkait pasar keuangan.
Investor ritel juga harus menghindari influencer saham yang pamer cuan terus menerus dan menjustifikasi bahwa mereka jago dan tidak pernah kalah. Sebab, tingkat risiko dan ketepatan orang untuk membeli saham itu sangat berbeda.
“Biasanya influencer yang pamer cuan jarang pamer terkait kerugian yang dialami. Di sini, investor ritel akan tergiur dan ikut semua langkah yang dilakukan sang influencer,” tuturnya.
Tak hanya itu, influencer saham yang pamer keuntungan dalam rangka iklan berjualan kelas literasi juga harus dihindari. Sebab, hal itu bisa membuat para investor ritel hanya ikut kelas untuk mendengar rumor pasar saham.
“Jika rekomendasi saham itu tidak tepat dan investor ritel tidak dibekali strategi stoploss risk, maka investor ritel akan mengalami kerugian yang dalam,” paparnya.
Dengan adanya regulasi yang lebih jelas dari OJK, diharapkan influencer saham yang memberikan edukasi berkualitas bisa terus berkembang. Sementara, yang hanya mencari keuntungan dari rumor bisa diminimalisasi.
“Investor ritel pun perlu lebih bijak dalam memanfaatkan informasi dari media sosial sebagai referensi, bukan sebagai satu-satunya acuan investasi,” ungkapnya.
Baca Juga: OJK Mau Atur Influencer Saham, Begini Usulan Regulasi dari Pengamat Pasar Modal
Selanjutnya: Lima Hari Penawaran, Penjualan ST014 Capai Rp 5,19 triliun
Menarik Dibaca: Ninja Xpress Bagikan Tips Jalankan Bisnis Franchise di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News