Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bulan Januari jadi periode yang menantang bagi industri aset kripto. Pasalnya, kinerja aset kripto berkapitalisasi besar rontok dan berada di zona merah semua pada periode tersebut.
Merujuk Coinmarketcap, hingga pukul 17.00 WIB, Bitcoin berada di level US$ 37.931,87 per BTC. Secara year to date (ytd), level tersebut telah terkoreksi 20,46%. Berikutnya, nasib Ethereum juga tidak jauh berbeda. Kini harganya berada di US$ 2.841,78 atau terkoreksi 24,85% secara ytd.
Lalu, Binance Coin (BNB) terpantau ada di level US$ 379,26 atau telah turun 28,22% secara ytd. Aset kripto lain seperti Cardano (ADA) dan Solana (SOL) juga punya kinerja yang serupa. Tercatat, masing-masing berada di level US$ 1,07 dan US$ 106,37 atau sudah turun 22,53% dan 40,95%.
Pengamat dan Investor Aset Kripto Vinsensius Sitepu mengatakan, secara umum tertekannya pasar aset kripto pada Januari tidak terlepas dari menguatnya dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil obligasi AS.
Hal ini diakibatkan oleh rencana pemercepatan kebijakan tapering oleh The Fed, termasuk menaikkan suku bunga acuan yang mungkin dimulai Maret 2022 ini.
Baca Juga: Analis Ini Prediksi, Harga Bitcoin Bisa Menyentuh Titik Terendah Baru
“Korelasi positif antara pasar modal di AS dengan pasar kripto mencapai puncak tertinggi baru pada Desember 2021 lalu. Ini yang membuat, ketika pasar modal terguncang, pasar kripto juga kena getahnya,” kata Vinsensius kepada Kontan.co.id, Jumat (4/2).
Menurutnya, hal tersebut memang tidak bisa dihindarkan karena investor dalam posisi melakukan aksi jual belakangan ini. Ia juga menyebut, melalui kejadian tersebut, investor jadi punya tolak ukur tambahan.
Kini, setiap ada perubahan kebijakan makro maupun di pasar modal, maka akan turut berpengaruh ke pasar kripto. Hal ini lantaran setiap arus dana yang masuk investasi ke aset kripto kini juga berasal dari modal ventura.
Terkait pergerakan aset kripto ke depan, Vinsensius menyebut prospeknya bisa dilihat dari sisi teknikal Bitcoin yang merupakan aset kripto yang mendominasi pasar. Ia menjelaskan, dari time frame harian, garis RSI sebenarnya sudah mencapai titik oversold, yakni di bawah plot 30, tepatnya level 19,8 pada 22 Januari lalu. Level ini dicapai ketika harga Bitcoin saat itu menyentuh US$ 33.000 per BTC.
Dia bilang, indikator tersebut menandakan jenuh jual sudah terjadi dan memberikan sinyal dimulainya akumulasi. Kendati begitu, sejauh ini garis RSI tersebut belum bertahan di atas plot 40 dan 50.
“Sehingga dapat disimpulkan, belum ada tanda-tanda penguatan signifikan. Lagipula harga masih berada di bawah garis MA200. Padahal, untuk memastikan bull run, harga harus ada di atas MA200 dan garis RSI tadi harus bertahan di atas plot 40 dan 50,” imbuhnya.
Namun, di satu sisi, investor juga harus mengantisipasi ketika garis RSI di skala mingguan yang mungkin mencoba lagi menerobos plot 30. Vinsensius menyebut bahwa hal tersebut merupakan salah satu penanda terjadinya lagi tekanan pada Bitcoin yang bisa berdampak pada aset kripto lain.
Baca Juga: Peretasan Lagi, Cryptocurrency Senilai Lebih Dari US$ 320 Juta Menguap
Sementara ke depan, menurutnya faktor yang bisa mengangkat harga aset kripto adalah fokus kepada nilai use case (konteks guna dan manfaat). Pengembangan seperti DeFi, NFT, metaverse, hingga stablecoin lewat Lightning Network yang melibatkan Blockchain Bitcoin. Di satu sisi, tantangan dari beragam kasus peretasan di proyek kripto juga bisa jadi sentimen negatif.
“Jika berkaca dari data analitik Bitcoin yang sudah disebutkan, investor bisa melakukan akumulasi. Kendati begitu, investor harus tetap siap karena di pertengahan jalan akan ada tekanan lagi, namun sifatnya lebih sesaat,” tutup Vinsensius.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News