kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Investasi properti tertahan pungutan pajak


Kamis, 18 Juni 2015 / 10:00 WIB
Investasi properti tertahan pungutan pajak


Reporter: Andri Indradie, Merlina M. Barbara, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi

Wait and see. Begitulah petuah bijak bagi orang yang gemar membiakkan dana di instrumen properti saat ini. Sebab, awan mendung tengah menggelayuti sektor ini. “Terutama, produk (properti) menengah ke atas,” kata Ali Tranghanda, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch.

 

Awan mendung itu bermula dari melemahnya daya beli masyarakat seiring dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Jika disetahunkan per kuartal I tahun ini, ekonomi Indonesia cuma tumbuh 4,71%. Tak heran, baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi sepanjang 2015 dari 5,4% menjadi 5,1%. Untuk kuartal II hingga kuartal IV nanti, BI memprediksi ekonomi tumbuh masing-masing 4,9%, 5,3%, dan 5,4% yoy.

Lesunya ekonomi bukan satu-satunya masalah yang dihadapi sektor properti tahun ini. Penyebab lain adalah pasar properti menengah ke atas sudah terlalu jenuh lantaran laju kenaikan harga kelewat tinggi (over value) melebihi nilai wajarnya. Dus, investor kesulitan menjual lagi aset propertinya untuk merealisasikan keuntungan.

Berdasarkan survei terhadap pengembang proyek perumahan di 16 kota, BI mencatat, penjualan rumah tapak cuma tumbuh 26,62% pada kuartal I 2015. Pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 40,70%.

Kredit kepemilikan rumah (KPR) dan apartemen (KPA) juga lesu. Pada kuartal I 2015, nilai KPR dan KPA sebesar Rp 317,8 triliun atau cuma tumbuh 0,12% dari periode sama 2014. Padahal, pada kuartal sebelumnya, masih bisa tumbuh 2,56%. “Karena ekonomi juga melambat,” imbuh Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama Bank Central Asia (BCA).

Per April 2015, BCA menempati peringkat kedua terbesar penyalur KPR dengan porsi 10,67%. Posisi pertama masih dipegang Bank Tabungan Negara (BTN) dengan pangsa pasar 27,53%. Adapun Bank Negara Indonesia (BNI) menempati peringkat ketiga sebesar 10,5%.

Seakan tak cukup, awan tebal kian menaungi sektor properti setelah pemberlakuan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 per akhir Mei lalu. Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak 19/PJ/2015 tentang Tata Cara Pemungutan PPh 22 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 90/PMK.03/2015 ini merevisi PMK 253/2008 tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut PPh dari Pembeli atas Penjualan Barang Sangat Mewah.

Intinya, aturan baru itu menurunkan batasan  harga barang sangat mewah yang dikenai pajak dari sebelumnya di atas Rp 10 miliar menjadi di atas Rp 5 miliar. Di satu sisi, menurut Yustinus Prastowo, pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis, pemerintah sah-sah saja merevisi PPh 22 itu demi menggenjot penerimaan pajak. Apalagi, PPh 22 bagus dari sisi prinsip keadilan, karena mereka yang mampu membeli barang supermewah tentu mampu membayar pajak 5%.


Memicu kontroversi
Namun, di sisi lain, kebijakan anyar itu berpotensi semakin memukul sektor properti yang dalam beberapa tahun terakhir ini meredup. Padahal, di kutub yang lain, Bank Indonesia (BI) akan segera merevisi batasan maksimal pembiayaan properti oleh perbankan alias loan to value (LTV). Batasan LTV sebesar 70% akan dinaikkan menjadi 80% dengan tujuan mendongkrak daya beli masyarakat.

Tak cuma itu, PPh Pasal 22 ini juga memicu kontroversi karena tidak sejalan dengan definisi harga dasar alias batasan harga jual barang supermewah seperti termaktub dalam undang-undang tentang pajak pertambahan nilai (PPN).

Dalam UU tersebut, harga jual tidak memperhitungkan PPN dan potongan harga lain yang tercantum di faktur pajak. Sementara aturan batas harga jual di Perdirjen sudah termasuk PPN dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) terutang. Dengan begitu, seharusnya harga dasar batas PPh Pasal 22 sebesar Rp 3,85 miliar, bukannya Rp 5 miliar seperti dalam aturan Perdirjen.

Persoalan batasan harga dasar ini semakin rumit karena sampai sekarang pemerintah sejatinya belum menetapkan batasan harga barang mewah. Menurut Direktur Penyuluhan, Pengembangan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Mekar Satria Utama, barang mewah sampai saat ini masih mengacu kepada aturan PPnBM yang lama, yaitu Peraturan Menteri Keuangan 130/PMK.011/2013.

Alhasil, aturan baru dalam PPh Pasal 22 tersebut menuai kritik dari para pelaku industri properti. “Kebijakan PPh 22 itu mengada-ada,” tukas Ali. Ia pun mempertanyakan batasan harga jual properti yang dikenai PPnBM. Maklum, saat ini, harga jual properti di Jakarta sebesar Rp 2 miliar, misalnya, bukan lagi termasuk barang mewah.

Yang jelas, pemberlakuan PPh Pasal 22 akan mendorong para pengembang untuk menaikkan harga jual. Pasalnya, menurut Indra Wijaya, praktisi properti yang juga mantan Wakil Direktur Utama II PT Agung Podomoro Land Tbk, total pajak penjualan properti bisa mencapai 45%. “Itu terdiri dari PPN 10%, PPh 5%, PPnBM 20%, BPHTB 5%, plus pajak barang sangat mewah 5% jika harga rumahnya di atas Rp 3,85 miliar,” ujar Indra.

Jadi, bagaimana nasib investasi properti? Ali menyarankan agar para investor menghindari dulu properti segmen atas dan sebaiknya membeli properti segmen menengah. Buktinya, saat ini, penjualan segmen menengah ke bawah tumbuh 12%. “Awal 2016, segmen ini akan menjadi primadona,” katanya. Kita tunggu saja.    


Laporan Utama
Mingguan Kontan No. 38-XIX, 2015

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×