Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asia Tenggara menjadi wilayah yang seksi untuk membenamkan investasi di sektor energi baru terbarukan (EBT). Lembaga Riset Rystad Energy memperkirakan, investasi EBT di wilayah ini akan mencapai US$ 76 miliar pada tahun 2025, sejalan dengan peningkatan kemandirian energi dan daya saing masing-masing negara.
Senior Analyst Supply Chain Rystad Energy Afiqah Mohd. Ali dalam riset Senin (21/8) mengatakan, perusahaan minyak dan gas nasional di Asia Tenggara semakin berfokus pada inisiatif energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan.
Analisis Rystad Energy mengungkapkan, komitmen investasi di Asia Tenggara diproyeksi akan melebihi US$ 76 miliar dari tahun ini hingga 2025. Tren peningkatan investasi hijau ini akan terus berlanjut, dengan total pengeluaran investasi di sektor ini diproyeksikan mencapai US$ 119 miliar pada akhir tahun 2027.
Investasi di segmen EBT akan mengalir deras ke proyek pembangkit listrik tenaga bayu, tenaga surya, dan panas bumi (geothermal).
Baca Juga: Jor-Joran Beri Subsidi ke Energi Fosil, Investasi EBT Jadi Terhambat
Dua pemain besar di sektor ini, yakni PT Pertamina berencana memperluas bisnisnya di segmen geothermal lewat anak usahanya, yakni PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Sementara Perusahaan migas milik negeri jiran, Petronas, berencana menangkap peluang di segmen penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon alias Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS).
Indonesia menargetkan mencapai net-zero emission pada tahun 2060. Sementara Malaysia dan Thailand berambisi mencapai emisi bebas gas rumah kaca masing-masing pada tahun 2050 dan 2065. Sejumlah strategi dan insentif yang diberikan masing-masing negara dapat menarik investasi pihak ketiga untuk mendukung ambisi tersebut.
Analis Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai, potensi bisnis EBT memang masih cukup besar. Potensi ini sejalan dengan target Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menargetkan kontribusi energi terbarukan pada bauran energi (mixed energy) primer mencapai 31% pada 2050 dari sebelumnya hanya sebesar 14,1% pada 2022.
Maka tak heran, sejumlah emiten mulai masuk ke bisnis EBT. Terkini, ada PT United Tractors Tbk (UNTR) yang masuk ke bisnis geothermal. UNTR melalui perusahaan terkendalinya yakni Energia Prima Nusantara (EPN), mengakuisisi sebanyak 680.000 saham Supreme Energy Sriwijaya.
Baca Juga: Kinerja Cemerlang, Harga Saham PGEO Sentuh All Time High
Supreme Energy Sriwijaya akan mengeluarkan sebanyak 680.000 saham baru atau setara dengan 40,47% dari total saham yang dikeluarkan oleh Supreme Energy Sriwijaya kepada Energia Prima Nusantara. Total akuisisi ini bernilai Rp 634,94 miliar atau US$ 42,32 juta.
Akuisisi Supreme Energy Sriwijaya ini menambah daftar panjang geliat UNTR mencari peluang bisnis di sektor non-batubara. Sebelumnya, masih melalui PT Energia Prima Nusantara, UNTR resmi menambah kepemilikan saham di PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), operator Pembangkit Listrik Mini Hydro (PLTMH). Sehingga, total kepemilikan Grup Astra melalui UNTR di Arkora Hydro bertambah menjadi sebesar 31,49%.
Salah satu mega proyek ARKO saat ini adalah pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas 50 megawatt (MW).
Selain UNTR, PT Indika Energy Tbk (INDY) juga masuk ke segmen bisnis EBT, khususnya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Pada 2021, Indika Energy bermitra dengan Fourth Partner Energy mendirikan Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS). EMITS menyediakan platform solusi energi baru dan terbarukan untuk sektor komersial dan industri di Indonesia.
Baca Juga: Perusahaan Tambang Mulai Kurangi Emisi untuk Persiapan Perdagangan Karbon
Felix melihat bisnis EBT menjadi upaya emiten untuk mendiversifikasi usahanya, dimana segmen EBT relatif stabil dan tidak naik turun seperti bisnis batubara atau komoditas lainnya. “Namun di satu sisi, terdapat beberapa tantangan dalam mengembangkan EBT, seperti pendanaan ataupun masih bergantungnya pada energi berbasis fosil,” kata Felix kepada Kontan.co.id, Selasa (22/8).
Katalis positif juga datang dari implementasi bursa karbon. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan perdagangan atau pengoperasian bursa karbon dapat dilakukan pada September 2023. Analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan meyakini, bursa karbon dapat menjadi katalis positif bagi PGEO.
Sebab, skema bursa karbon akan mendatangkan lebih banyak calon pembeli potensial bagi segmen bisnis karbon kredit yang dijalankan PGEO. Hal ini sejalan dengan ekspektasi PGEO, dimana pendapatan carbon credit akan tumbuh dua kali lipat dalam lima tahun ke depan.
Ditambah, Hasan berekspektasi PGEO dapat mencapai target produksi pada tahun 2023. Pada paruh pertama 2023, anak usaha Pertamina ini telah mencapai sekitar 53% dari target produksi tahun ini yang diperkirakan mencapai 4.523 gigawatt hour (GWH).
Baca Juga: Bersiap Hadapi Transisi Energi, Medco Energi (MEDC) Gesit Garap Bisnis di Luar Migas
Hasan merekomendasikan buy saham PGEO dengan target harga Rp 1.170 per saham. Sementara Felix merekomendasikan buy saham UNTR dengan target harga Rp 31.000 per saham.
Analis Sinarmas Sekuritas Axel Leonardo mempertahankan rating netral terhadap saham INDY dengan target harga Rp 2.100 per saham. Pada tahun 2025, INDY menetapkan menurunkan pendapatannya yang berasal dari bisnis pertambangan batubara menjadi hanya 50%, dengan porsi sisanya diharapkan berasal dari bisnis kendaraan listrik.
Axel menyebut, pada 2019 INDY berhasil menekan kontribusi pendapatan dari batubara menjadi hanya 70%. Namun, kontribusi bisnis batubara malah meningkat menjadi hampir 90% pada tahun 2022, yang didorong oleh lonjakan harga batubara.
Selama kuartal kedua 2023, Axel menyebut terjadi tren pergeseran kontribusi pendapatan karena sumbangan dari segmen batubara turun menjadi 86%. “Kami menilai tren (penurunan kontribusi batubara) akan berlanjut, didukung oleh penurunan produksi batubara Kideco (anak usaha INDY) dalam beberapa tahun terakhir dan tren penurunan harga batubara,” terang Axel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News