Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Herlina Kartika Dewi
Ketimbang emas, Faisyal lebih merekomendasikan dolar Amerika Serikat. Mata uang safe haven ini dalam dua bulan pertama di tahun ini sudah mencatatkan kenaikan 1,32% dan diperkirakan masih akan terus berada dalam tren positif.
Pertimbangan Faisyal adalah data-data ekonomi AS yang belakangan terus menunjukkan perbaikan. Hal ini memberi sinyal bahwa pemulihan ekonomi AS sudah berjalan pada jalur yang tepat. Belum lagi, Joe Biden belum lama ini memberikan pernyataan bahwa orang-orang dewasa AS akan mendapatkan vaksinasi lebih cepat dari perkiraan.
“Ada potensi ke depan angka inflasi AS akan terus mengalami kenaikan. Hal ini bisa memicu akan kenaikan suku bunga AS. Jika inflasi terus tumbuh dan suku bunga naik, ada potensi nilai dolar AS bisa mengungguli pounds,” imbuh Faisyal.
Baca Juga: Inilah instrumen investasi yang diprediksi paling cuan tahun 2021
Ke depan, Head Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi meyakini investor sebaiknya wait and see terlebih dahulu untuk pasar obligasi dengan masih adanya peluang kenaikan US Treasury.
Ia melihat pasar saham yang akan punya prospek lebih menarik. Apalagi, proses vaksinasi yang terus berjalan dan mulai menurunnya angka penularan Covid-19 dapat menjadi katalis positif.
Belum lagi, program-program stimulus ekonomi baik dari dalam negeri maupun global masih akan terus dilakukan. Dengan adanya omnibus law dan SWF juga akan memicu investor asing untuk masuk ke pasar saham. Reza optimists, berbagai faktor tersebut dapat mengerek IHSG naik ke level 6.700 pada akhir tahun ini.
“Saham-saham siklikal, lalu saham yang terpengaruh oleh pemulihan ekonomi seperti sektor konsumer menarik untuk dipertimbangkan. Belum lagi, saham dari sektor properti dan otomotif yang terkena dampak positif dari stimulus pajak. Lalu, saham-saham yang mendukung bisnis digital dan ESG (Environmental, Sustainable, dan Governance) juga cukup menarik,” imbuh Reza.
Senada, Toufan juga menilai kelas aset saham masih akan menjadi instrumen investasi dengan prospek paling menarik. Menurutnya, kenaikan harga komoditas akan memberi dampak positif pada Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu negara yang ekspornya berfokus pada komoditas.
“Apalagi, ketika hal tersebut dikombinasikan dengan nilai tukar rupiah yang stabil, tentu kinerja neraca perdagangan kita juga akan terus membaik. Di satu sisi, ini turut mendorong pendapatan perusahaan akan semakin tumbuh dan bisa berdampak positif pada pasar saham tentunya,” jelasnya.
Toufan meyakini, sektor emiten yang berbasis komoditas jadi salah satu yang berpotensi punya kinerja apik pada tahun ini karena akan punya margin yang lebih baik dengan naiknya harga komoditas. Sektor otomotif dan manufaktur juga cukup menarik seiring adanya relaksasi dan insentif belakangan ini.
Ia juga bilang, sektor konsumer juga menarik untuk dicermati karena potensi pulihnya daya beli masyarakat. Namun, hal ini juga tergantung pada momen lebaran nanti apakah sudah kembali normal atau belum, mengingat momen tersebut punya peran signifikan pada kinerja sektor konsumer.
Toufan optimistis, pada akhir tahun nanti IHSG bisa bergerak ke arah 6.700 - 7.000. Oleh karena itu, ia merekomendasikan alokasi susunan portofolio sebesar 60% untuk aset berbasis saham, baik reksadana saham maupun saham, lalu 20% pada obligasi yang punya jangka waktu 3-5 tahun, dan sisanya di pasar uang.
Sementara Reza merekomendasikan susunan portofolio dapat dibagi menjadi 60% pada reksadana saham, 25% reksadana pasar uang, serta 15% reksadana campuran atau pendapatan tetap.
Lalu, Faisyal menilai susunan portofolio investor yang bisa dipertimbangkan adalah 40% pada dolar AS, 25% pada aset berbasis obligasi, 20% saham, dan sisanya pada emas.
Selanjutnya: Harga emas turun, simak rekomendasi analis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News