Reporter: Muhammad Musa | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kabar penting untuk para investor yang suka koleksi saham blue chip di Bursa Efek Indonesia (BEI). Analis menyebut ada banyak saham blue chip layak beli saat harga dalam tren melemah.
Saham blue chip adalah saham lapis satu yang telah berpengalaman lama di lantai bursa. Selain itu, saham blue chip biasanya memiliki fundamental kuat dan kapitalisasi pasar besar mencapai puluhan hingga ratusan triliun.
Di BEI, saham yang identik dengan blue chip adalah saham di indeks mayor seperti LQ45. Emiten LQ45 tercatat memiliki performa yang kurang baik di pasar saham. Selama sepekan, terjadi penurunan kinerja harga saham sebesar 0,62%, sedangkan sepanjang tahun 2024, indeks tersebut melemah sebesar 8,53%.
Lalu, bagaimana strategi investasi dari emiten-emiten yang tergabung dalam indeks LQ45? Untuk melihat hal ini, kita dapat melihat melalui realisasi belanja modal atau capital expenditure (capex) yang diumumkan oleh masing-masing perusahaan.
Berdasarkan realisasi capex di kuartal I-2024 dari perusahaan yang telah merilis kinerjanya, emiten dari sektor energi dan bahan baku masih mengalami peningkatan dalam merealisasikan capex.
Contohnya, pertumbuhan yang dialami emiten PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) sebesar 617% year on year (yoy), PT AKR Corporindo Tbk (AKRA) sebesar 234% yoy, PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) 73% yoy, dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) 192% yoy.
Sedangkan, untuk emiten di sektor telekomunikasi, industri, perbankan, ritel, dan konsumer didominasi oleh pelambatan realisasi pertumbuhan capex di kuartal I-2024.
Head Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, melihat bahwa emiten dalam indeks LQ45 cenderung melambat dalam realisasi capex tahun ini. Dia juga memperkirakan perlambatan tersebut akan berlangsung hingga akhir tahun ini.
Menurutnya, hal ini disebabkan oleh faktor ketidakpastian pertumbuhan ekonomi global di tengah potensi suku bunga yang akan tertahan pada level tinggi untuk waktu yang lebih lama. Hal ini dinilai memberikan sentimen negatif pada emiten untuk cenderung menyesuaikan realisasi capex di tahun ini.
Selanjutnya, emiten yang mengandalkan pembiayaan untuk capex di tahun ini akan cenderung melambat dengan potensi biaya dana yang harus ditanggung jauh lebih besar dengan suku bunga saat ini.
Baca Juga: Akan Bayar Dividen Di Atas Rp 2 T, Saham Blue Chip Ini Layak Dibeli?
Emiten cenderung akan memanfaatkan persediaan kas yang ada, sehingga jika tidak memiliki persediaan yang cukup, maka dapat menyebabkan ekspansi yang dilakukan di tahun ini cenderung melambat dibanding tahun sebelumnya.
Di sisi lain, emiten di sektor energi dan bahan baku cenderung banyak merealisasikan peningkatan capex di kuartal I-2024. Ditambah lagi, di tengah normalisasi harga komoditas yang juga dapat memperkuat posisi pasar dan efisiensi, serta persiapan pemulihan harga ke depannya.
Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM), Reza Fahmi, menyebut terdapat dua sentimen yang mampu mempengaruhi ekspansi emiten LQ45, yaitu pemulihan ekonomi dan sektor bisnis baru. Berkaca pada tahun 2023, pemulihan ekonomi dalam negeri menjadi pendorong utama bagi para emiten LQ45 untuk berekspansi di tahun 2023.
Dalam hal sektor bisnis baru, dia memberikan contoh seperti Astra International yang berencana berinvestasi di sektor bisnis baru. Hal ini dapat menjadi kontributor yang baik bagi bisnis dan menjadi mesin pertumbuhan jangka panjang perusahaan.
Adapun dari aspek strategi, sebagai contoh, XL Axiata menyebut akan terus mengalokasikan capex untuk pembangunan infrastruktur jaringan dan digitalisasi. Kemudian, Telkom Indonesia berencana untuk mempertahankan alokasi capex sekitar 22%–25% dari pendapatan pada tahun ini.
Secara garis besar, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta, memaparkan bahwa rata-rata emiten berhati-hati dalam menerapkan strategi ekspansi bisnisnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan keberlanjutan perusahaan.
Sejauh ini, dia melihat berdasarkan top line dan bottom line bahwa rata-rata kinerja emiten LQ45 tumbuh secara progresif. "Jadi sebenarnya ekspansi ini ditujukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan secara berkesinambungan," kata Nafan kepada Kontan, Minggu (26/5).
Lebih lanjut, faktor kehati-hatian ini dipengaruhi oleh ketidakpastian yang terjadi secara eksternal. Di sisi lain, meskipun terjadi ketidakpastian eksternal, Nafan melihat terdapat sikap tahan banting.
“Jadi sikap tahan banting inilah yang setidaknya membuat emiten-emiten menerapkan ekspansi bisnis secara hati-hati supaya mampu meningkatkan kinerja fundamental di tengah ketidakpastian terutama dari kondisi eksternal,” imbuhnya.
Secara teknikal, Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana merekomendasikan saham-saham berikut, di antaranya “buy on weakness” pada saham AMRT dengan target harga Rp 2.890–Rp 2.970, KLBF di level harga Rp 1.605–Rp 1.660, dan MBMA di harga Rp 710–Rp 720, serta UNTR di harga Rp 23.350–Rp 24.150.
Kemudian, Reza cenderung mencermati untuk “buy” pada saham EXCL dengan target harga Rp 3.400 dan ASII di harga Rp 6.000.
Sedangkan menurut Oktavianus, saham indeks LQ45 dengan capex yang masih kuat, di antaranya investor dapat “buy” pada saham TLKM di level Rp 4.300 per saham, ASII di harga Rp 6.450 per saham, dan AMRT di harga Rp 3.650 per saham, serta MEDC sebesar Rp 1.895 per saham.
Pada perdagangan Rabu 22 Mei 2024, harga saham TLKM ditutup di level 2.940, turun 10 poin atau 0,34% dibandingkan sehari sebelumnya. Penurunan itu mengakumulasi pelemahan harga saham TLKM sebesar 1,050 poin atau 26,32% secara year to date,
Adapun saham perbankan di antaranya dapat “buy” pada saham BMRI, BBCA, dan BBRI masing-masing di harga Rp 7.350, Rp 10.300, dan Rp 6.650 per saham.
Itulah rekomendasi saham blue chip untuk perdagangan hari ini, Senin 27 Mei 2024. Ingat, segala risiko investasi menjadi tanggung jawab Anda sendiri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News