kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini ulasan analis soal prospek pasar saham di semester II-tahun 2019


Minggu, 30 Juni 2019 / 14:47 WIB
Ini ulasan analis soal prospek pasar saham di semester II-tahun 2019


Reporter: Irene Sugiharti | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Perdagangan saham pada akhir semester 1-2019 telah ditutup. Kini saatnya mempersiapkan diri untuk neraca perdagangan saham semester II tahun 2019. Hingga Jumat (28/6) IHSG masih ditutup menguat ke level 6.358,629.

Dalam beberapa hari terakhir sebelum dibukanya semester 2 perdagangan saham, tercatat IHSG terus menguat setelah sebelumnya sempat berada di level terendah yaitu level 5.826,868 pada bulan Mei lalu. Jika ditelisik dari awal tahun hingga hari ini Jumat (28/6) performa index menunjukkan sinyal positif dan menguat sebesar 2,65%.

Memasuki perdagangan saham semester 2, Analis Bina Artha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji melihat bahwa pertumbuhan pasar saham masih akan mengarah ke pertumbuhan yang positif. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sentimen positif yang diperkirakan akan berlangsung sepanjang semester II tahun 2019 ini.

Dari ranah domestik, kestabilan politik menjadi salah sentimen positif bagi pasar saham. Dengan adanya kestabilan politik yang berasal dari kondisi kondusif pasca pemilihan legislatif dan eksekutif akan memberikan kepastian bagi pelaku pasar saham untuk memutuskan langkah apa yang harus diambil.

Hal ini berkaitan dengan regulasi dan kebijakan pasar dan ekonomi yang akan diambil oleh Pemerintah. Nafan Aji optimistis bahwa pemerintah akan membuat kebijakan yang lebih baik dari periode sebelumnya.

Jika pemerintah berhasil menyusun kebijakan yang mendukung pertumbuhan positif pasar makan pertumbuhan positif yang diharapkan akan memiliki peluang yang lebih besar untuk terwujud.

Tapi sebaliknya, jika kemudian kebijakan pemerintah kurang bersahabat bagi pasar, bukan tidak mungkin justru hal ini akan berubah menjadi sentimen negatif. Sejauh ini menurut Nafan, kinerja pemerintah dalam menciptakan siklus perdagangan yang positif sudah patut untuk diapresiasi lewat kebijakan-kebijakan yang telah dibuat.

“Saya rasa kebijakan pemerintah dalam mendukung hal ini harus diapresiasi. Banyak contoh kebijakannya seperti kebijakan pro jobs, peningkatakan kesejahteraan TNI, POLRI, membangun infrastukruktur, menstabilkan nilai tukar rupiah, banyak lah.

Program seperti program 1 juta rumah bersama bank-bank, disini BTN juga itu jadi bukti usaha pemerintah untuk menjaga stabilitas. Disisi lain pembangunan tidak hanya soal infrastruktur, tetapi tapi juga kawasan industri juga akan membuka lapangan pekerjaan yang akan meningkatkan kesejahteraan.” Jelas Nafan, Jumat (28/6).

Selain itu, beberapa sektor emiten masih berpotensi untuk menunjukkan performa yang positif seperti saham ADHI, BMRI, INDF, UNTR, dan TLKM.

ADHI

Saham ADHI masih diprediksi akan menunjukkan pergerakan yang positif. Meskipun pada kuartal 1 2019 ADHI tercatat mengalami penurunan pendapatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 25,9% yoy menjadi 2,3 triliun Penurunan pendapatan ini salah satunya dipengaruhi oleh melambatnya proses pembangunan LRT Jakarta. Kendati demikian, ADHI tetap optimistis mencapai target kontrak baru dengan nilai hingga 30 triliun di tahun 2019 melalui proyek penyediaan air minum, jalan tol dan jalur KRL yang akan diperjuangkan tembus pada proses tender.

Pendapatan dan laba bersih ADHI sendiri diproyeksikan masing-masing meningkat 20% yoy menjadi 18,84 triliun dan 773,04 triliun. Pada pencatatan keuangan kuartal I-2019 laba ADHI diketahui berhasil menaikkan laba bersih sebesar 3,1% yoy menjadi 76 miliar yang disebabkan rendahnya beban-beban pajak.

BMRI
Saham BMRI yang sempat berada di bawah garis down trendline juga diprediksi menjadi emiten yang akan membawa sinyal positif di semester II-2019 ini. Bina Artha Sekuritas melihat bahwa setelah berhasil melewati batas garis down trendline BMRI berpotensi membentuk pola up chanel yang diindikasikan akan membawa sinyal positif. Prediksi positif ini didukung juga oleh keberhasilan BMRI mencapi kenaikan laba bersih di kuartal 1 tahun 2019 yang tumbuh hingga 23,4% dari tahun sebelumnya. Pada kuartal 1 2019, BMRI tercatat berhasil memperoleh laba bersih senilai 7,2 triliun yang diperoleh dari pertumbuhan bunga dan pendapatan bunga bersih.

INDF
Serupa dengan BMRI, INDF berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih pada kuartal 1-2019 sebesar 13,5% . Laba bersih perusahaan pada kuartal 1 2019 tercatat senilai Rp 1,35 triliun yang berasal dari pendapatan perusahaan. Selain peningkatan laba, INDF juga mengalami peningkatan pendapatan yang disumbang oleh peningkatan penjualan segmen bisnis Bogasari dan agribisnis.

Sektor industri makanan dan minuman di tahun 2019 juga di prediksi masih menajdi prospek bisnis yang positif sehubungan dengan peningkatan konsumsi saat pemilu lalu dan bulan suci Ramadhan. Hal ini didukung oleh pertumbuhan industri makanan pada tahun 2018 sebesar 7,91% yang nilainya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Disisi lain, sinyal positif INDF juga memiliki titik lemah dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan mempengaruhi kenaikan biaya produksi yang masih tergantung pada impor.

UNTR
Tidak hanya BMRI dan INDF yang berhasil mencatatkan kenaikan laba bersih. UNTR pun turut mencatatkan kenaikan laba bersih pada kuartal I-tahun 2019 sebesar 20,5% yoy menjadi Rp 3,05 Triliun. Kenaikan ini didorong oleh pertumbuhan pendapatan UNTR pada kuartal I-2019. Sektor bisnis kontraktor penambangan menjadi penyumbang terbesar pendapatan bersih UNTR yakni sebesar 42%.

Pertumbuhan positif harga batubara, adanya kontribusi keuntungan dari Martable, serta minimnya diskon jasa kontraktor juga menjadi dorongan positif atas fundamental perusahaan yang membuat UNTR memiliki signal positif. Namun perlu diwaspadai, proyeksi positif ini bisa berubah jika terjadi pembalikan arah harga batu bara.

TLKM
Saham miliki PT Telekomunikasi Indonesia ini juga diprediksi akan menunjukkan signal positif sepanjang semester 2 tahun 2019. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain keberhasilan TLKM meningkatkan pendapatan dan laba bersih, peningkatan kinerja yang dipengaruhi pertumbuhan bisnis digital, dan peningkatan nilai konsumsi pasar terhadap barang jual.

Tercatat pada kuartal 1 tahun 2019, TLKM berhasil meningkatan pendapatan sebesar 7,7% yoy atau senilai dengan 34,84 triliun dan kenaikan laba sebesar 8,5% yoy dengan nilai 6,22 triliun. Peningkatan kinerja TLKM yang disebabkan oleh pertumbuhan bisnis digital di sektor connectivity broadband dan layanan digital sebesar 26,2% turut menyumbang kontribusi sebesar 68,4% dari total pendapatan perseroan. Dari segi konsumsi pasar, Pemilu serentak 2019 turut meningkatan nilai traffic pemakaian dan konsumsi data yang tentunya akan berdampak pada akumulasi pendapatan perusahaan.

Sementara itu beberapa faktor global juga menyumbang sentimen positif terhadap pertumbuhan saham di semester 2 tahun 2019. Indonesia yang masuk sebagai emerging market dalam kategori investment grade turut menjadi sentimen positif terhadap saham di semester II ini. Emerging market adalah sebutan bagi negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi secara cepat dalam ekonomi global.

Turunnya suku bungan bank sentral dunia juga menjadi factor lain yang membawa sentimen positif terhadap perkembangan pasar saham. Dengan turunnya suku bunga bank sentral, maka diharapkan bank – bank juga dapat menurunkan suku bunga kreditnya. Ketika bank menurunkan suku bunga kredit, hal ini akan berdampak pada peningkatan jumlah kredit yang sekaligus menambah pemasukan perseroan dan berdampak langsung terhadap fundamental perusahaan.

Disisi lain, investor masih harus berhati-hati terhadap adanya faktor sektimen negatif yang juga akan mewarnai pasar perdagangan saham di semester kedua ini. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Muhammad Nafan Aji, beberapa sentimen negatif yang diprediksikan akan muncul antara lain adanya perlambatan ekonomi global, ketidakpastian Brexit, perang dagang dan ketidakpastian negosiasi perang dagang Amerika dengan China, dan keadaan geopolitik.

Ketidakpastian Brexit yang masih akan terjadi hingga Oktober nanti menurut analis Nafal Aji menjadi salah satu sentimen negatif yang muncul pada periode semester 2 dikarenakan dikhawatirkan akan berpengaruh pada perlambatan ekonomi global.

Ditambah jika polarisasi legislatif benar terjadi, juga akan membuat kebijakan harga barang yang masuk ke Inggris menjadi tinggi dimana hal ini tidak sesuai dengan prinsip smart globalisasi ataupun liberalisasi perdagangan.

Dari segi domestik, sentimen negatif yang akan mempengaruhi IHSG adalah masih tingginya ketergantungan Indonesia akan import. Ketika Indonesia masih bergantung dengan kebutuhan import maka yang terjadi di neraca perdagangan adalah lebih tingginya nilai import ketimbang penghasilan yang diterima dari ekport Hal ini kemudian akan membuat neraca perdagangan yang ada di dalam keadaan defisit.

Ancaman defisit neraca perdagangan inilah yang akan menjadi sentimen negatif bagi pertumbuhan perdagangan saham karena akan mempengaruhi pelebaran Current Account Deficit.Dari beberapa factor global yang sudah disebutkan di atas, perang dagang global dan defisit neraca perdagangan menjadi dua sentimen negatif yang paling patut diwaspadai dalam semester II perdagangan saham.

Jika ditarik kesimpulan,  sentimen negatif masih didominasi faktor global sementara sentimen positif masih banyak didorong oleh faktor-faktor domestik. Bukan mustahil dengan perkembangan dan analisis yang ada prospek perdagangan saham akan mengarah ke sisi yang positif atau dengan kata lain menguat seperti yang sudah disampaikan analis Bina Artha, Muhammad Nafan Aji diawal tulisan. Adapun prediksi terkait munculnya sentimen-sentimen positif dan negatif menurut Nafan diprediksi akan bertahan hingga akhir semester dua perdagangan pasar saham enam bulan ke depan.

Sedikit berbeda dengan Nafan Direktur Avere Investama, Teguh Hidayat memprediksi bahwa pertumbuhan positif IHSG baru akan terjadi di akhir tahun bahkan di mulai di tahun 2020.

Teguh melihat dari trend pasar yang ada saat ini masih terdapat banyak potensi bagi IHSG untuk kembali koreksi di semester 2 perdagangan saham. Beberapa penyebabnya antaralain belum bertumbuhnya nilai saham dari emiten-emiten yang diawal tahun di proyeksikan akan membaik dan membawa dorongan positif bagi pertumbuhan IHSG.

Emiten properti misalnya, diawal tahun diprediksi emiten properti akan tumbuh dan menguat, nyatanya hingga akhir semeter 1 perdagangan saham belum terjadi pertumbuhan yang signifikan dari saham emiten tersebut. Hal ini tidak terlepas dari pemilu Indonesia yang cenderung membuat investor ataupun orang-orang yang ingin membeli properti wait and see.

Menurut Teguh, pertumbuhan positif dari saham-saham properti baru mungkin akan terlihat di kuartal 3 tahun 2019 karena pasca pengumuman presiden dan wakil presiden dipilih baru terdapat kemungkinan investor dan orang-orang yang hendak membeli properti membeli atau berbelanja properti.

Teguh memprediksi hingga akhir semester 2 perdagangan saham IHSG tidak akan tumbuh jauh dari level saat ini, yang berarti tetap berada di kisaran level 6.300-6.400 bahkan masih ada kemungkinan koreksi dan berada di level 6000-an.

“kenapa coba IHSG mentok di 6300-an tidak balik lagi ke level 6400-an? Ya karena orang masih wait and see nanti di kuartal 2 apakah kinerjanya akan akan sama jeleknya atau lebih baik. Kalau sama jeleknya ya bakal turun lagi. Tapi, saya prediksi masih jelek. Baru akan membaiknya di kuartal 3. Berarti dampaknya terhadap IHSG-nya sendiri ya mungkin baru akan kelihatan di akhir tahun. Setelah kita koreksi 1x lagi baru abis itu kita bakal naik dan naiknya kenceng di tahun 2020. Mungkin cuman 6000 pas (proyeksi IHSG di akhir tahun), tapi tidak akan di bawah 6000.” Jelas Teguh, Jumat (28/6).

Selain itu, menurut Teguh seluruh berita terkait sentimen positif sudah keluar ke publik yang juga menjadi alasan pertumbuhan positif IHSG dari level 5.800-an ke level saat ini. Karena itu kemungkinan koreksi IHSG masih mungkin terjadi ketika ada berita negatif yang muncul.

Salah satu berita atau sentimen negatif yang pasti muncul menurut Teguh adalah berita terkait kinerja emiten di kuartal ke-2 yang baru akan keluar di akhir Juli atau awal Agustus. Terlepas dari paparan di atas, tidak menutup kemungkinan munculnya beragam faktor lain yang tidak terduga yang juga dapat mempengaruhi kondisi perdagangan saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×