Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) belum genap setahun menjadi perusahaan yang tercatat di bursa lokal. Untuk masa-masa mendatang, sepertinya saham emiten perkebunan ini berprospektif baik, apalagi jika melihat fundamental perusahaan.
Menurut Andrianto Oetomo, Wakil Direktur Utama DSNG, ada beberapa hal yang dapat mendorong kinerja Dharma Satya. Pertama, dari soal usia pohon sawit yang dimiliki DSNG. Rata-rata usia tanaman sawit DSNG tahun lalu sekitar 6,7 tahun. Tahun ini, rata-rata usianya bertambah jadi 7 tahun. Untuk tahun 2015 dan 2016 rata-rata usianya masing-masing bertambah jadi 7,2 tahun dan 7,5 tahun.
"Jadi, kedepannya produktivitas tanaman kami akan terus tumbuh," jelasnya.
Memang, pada usia tersebut tanaman sawit tergolong usia muda sehingga produktivitas tandan buah segar (TBS) -nya masih tinggi. Umumnya, rata-rata usia pohon sawit berusia muda ada di kisaran empat hingga delapan tahun.
Selayaknya kurva produksi, usia tersebut merupakan usia yang ada dalam tahap pertumbuhan, yakni fase kedua. Biasanya, pada fase ini pertumbuhan akan sebuah bisnis, dalam hal ini produktivitas pohon sawit DSNG, sangat moncer.
Tahun 2011, TBS yang dihasilkan DSNG tidak mencapai 25 ton per hektare. Tahun 2011, yield yang diberikan mulai merangkak naik ke level 25 ton per hektare. Tahun lalu, setiap hektar lahan sawit DSNG mampu menghasilkan 26,4 ton per hektare dan yield ini akan terus tumbuh sekitar 8% hingga 100%.
Kembali ke soal kurva produksi, setelah fase kedua berarti ada fase ketiga. Dalam fase ini, pertumbuhan atau produktivitas akan sebuah produk cenderung flat, atau bahkan menurun apalagi jika manajemen tidak mampu menjaga ritme bisnisnya dengan baik.
Ada dua hal utama yang menjadi pendorong sebuah pertumbuhan atau produktivitas bisnis berada di level ini. Pertama, dari sisi eksternal yakni kondisi pasar yang sudah penuh, atau kedua, dari sisi internal yang mana sumber daya perusahaan sudah mencapai tahap full capacity.
DSNG bisa saja mengalami skenario kedua, skenario saat pohon sawitnya sudah berada dalam fase dewasa atau bahkan tua sehingga produktivitas TBS -nya pasti menurun. Nah, untuk yang satu ini sepertinya kecil kemungkinan untuk terjadi.
Sebab, DSNG memiliki total lahan seluas 170.000 hektare. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 70.000 hektare yang merupakan lahan tertanam. Manajemen menargetkan ada tambahan 10.000 hektar lahan tertanam baru yqng diisi dengan tanaman muda tahun ini sehingga produktivitas TBS DSNG bisa tetap sustain untuk jangka panjang.
"Dari semua produktivitas itu, lebih dari 90% CPO kami juga merupakan CPO dengan kualitas super, sehingga ini bisa menjadi nilai tambah produk kami dibanding pesaing yang lain," ujar Andrianto.
Nah, sekarang masalahnya, DSNG tidak sendirian. Ada banyak pemain besar yang bersaing dalam industri sawit. Sehingga, emiten-emiten tersebut, tak terkecuali DSNG hanya bisa menjadi price taker, bukan price maker.
Apalagi, sawit merupakan barang komoditas global sehingga harganya sangat fluktuatif. Dengan melihat fundamental DSNG dan terus berjalannya produksi sawit emiten lain, maka logikanya suplai CPO akan terus meningkat.
Permintaan yang ada juga belum tentu mampu mengimbangi suplai yang ada. Hasilnya, potensi anjloknya harga komoditas sawit sangat besar, dan hal ini tentunya bisa menekan kinerja emiten sawit seperti DSNG.
Andrianto paham akan semua hal ini. "Kami memang tidak bisa menentukan harga, oleh karena itu kuncinya ada di efisiensi," tambahnya.
Tahun lalu, manajemen menekan beberapa beban salah satunya seperti beban untuk pengeluaran pupuk dan beban lainnya. Hasilnya lumayan. Dengan penghematan itu biaya produksi atau cash cost DSNG turun menjadi Rp 3,8 juta per ton dari sebelumnya Rp 4,2 juta per ton.
"Strategi ini tepat untuk mengimbangi average selling price (ASP) yang lebih rendah," pungkas Andrianto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News