Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) baru saja merealiasikan penerbitan obligasi global senilai US$ 200 juta dengan kupon 9%. Sebesar 60% dari dana obliagi akan digunakan untuk refinacing utang. Sedangkan sisanya akan digunakan untuk ekspansi. SRIL membutuhkan dana ekspansi Rp 2,4 triliun. Sebesar Rp 1,5 triliun telah ditutup dari dana penawaran saham perdana.
Analis JP Morgan, Soo Chong Lim dalam risetnya tanggal 16 April 2014 memberikan rating overweight terhadap utang SRIL. SRIL merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang terintegrasi secara vertikal. Perusahaan ini telah menghasilkan berbagai produk di sektor hilir maupun tengah. Diantaranya adalah produksi benang yang menyumbang 43% dari pendapatan kotor tahun 2013, kain mentah 15%, kain jadi 28% dan garmen 14%, termasuk seragam dan pakaian ritel.
Agustini Hamid, analis Recapital Securities bilang, penggunaan dana obligasi untuk refinancing utang harus melihat rasio utang, apakah cukup besar atau wajar. Jika melihat catatan utang SRIL, perusahaan mempunyai net debt Rp 2,3 triliun pada tahun 2013. “Terlihat ada penambahan utang,” katanya. Jika dilihat dari Debt To Equity Ratio (DER), tahun 2013 sebesar 105,23% lebih rendah dari tahun 2012 sebesar 141,27%.
Agustini pun menilai positif penerbitan obligasi untuk ekspansi. “Namun, kalau ntuk refinancing, berarti sama saja utangnya tidak berkurang,” imbuhnya.
Menurut Soo Chong Lim, SRIL merupakan satu-satunya perusahaan tekstil dengan posisi kepemimpinan di tengah rantai usaha tekstil di Indonesia. Perusahaan mempunyai kapasitas produksi spinning, waving, dan finishing terbesar. Sedangkan kapasitas produksi garmen merupakan yang terbesar kedua di Indonesia.
Hal ini memberikan banyak keuntungan bagi perusahaan. Pertama, kemampuan untuk menawarkan solusi terpadu bagi pelanggan. Kedua, memberikan konsistensi kualitas produk dengan pengawasan yang lebih baik. Ketiga, memberikan waktu tempuk pengerjaan yang lebih pendek.
Terakhir, memberikan fleksibilitas dalam operasional sehingga dapat mengakomodasi revisi dari pelanggan. Keunggulan kompetitif ini dapat meningkatkan daya saing dalam penentuan harga, yang merupakan fator kunci dari kompetisi dalam industri tekstil.
Soo Chong Lim menyatakan keuntungan dari segi biaya ini telah terlihat dari margin EBITDA SRIL yang berada di atas rata-rata industri, mengalahkan TEXHONG dan PT Pan Brother.
Namun, Agustini menilai sektor industri tekstil sebagai sunset industry, yakni industri yang nyaris tenggelam. Di dalam negeri sendiri, industri tekstil terkena isu kenaikan tarif listrik dan Upah Minimum Regional (UMR). Apalagi, industri tekstil dalam negeri tidak mempunyai merek dagang sendiri dan hanya menerima pesanan dari merek dagang luar negeri.
Untungnya, pendapatan SRIL didominasi dari produksi benang. “Kalau garmen kemungkinan kalah bersaing dengan prosuk luar negeri,” lanjut Agustini.
Kiswoyo Adi Joe, managing partner Investa Saran Mandiri mengatakan SRIL mempunyai pesaing berat dari China, Bangladesh, dan Vietnam. SRIL pun masih terancam oleh pelemahan rupiah.Di satu sisi hal ini akan menguntungkan perusahaan sebagai pengekspor tekstil. Namun, di sisi lain juga bisa menekan margin lantaran bahan baku yang masih impor.
Meski demikian, Soo Chong Lim menilai SRIL berada dalam posisi yang baik untuk menangkap lebih banyak bisnis dari pengecer internasional yang mulai menjauhi China dan Bangladesh. Sebab, China sebagai pengekspor tekstil terbesar dunia terkena isu meningkatkan biaya tenaga kerja.
Sedangkan Bangladesh yang menjadi produsen tekstil dan garmen dengan biaya rendah sedang terkena isu keselamatan pekerja. “Indonesia dalam posisi yang baik untuk memanfaatkan tren ini, mengingat biaya tenaga kerja yang rendah serta infrastruktur demorafis dan layak,” tulis Soo.
SRIL memiliki basis pelanggan yang luas dan beragam. Perusahaan mengekspor 66% dari produknya ke 55 negara secara global. Juga, sebsar 10% dari pelanggan terbesar SRIL telah menyumbag sedikitnya 21% dari total pendapatan perusahaan.
SRIL membangun track record yang panjang dalam indsutri tekstil, dengan memasok seragam ke militer Indonesia serta 30 militer di seluruh dunia, termasuk Malaysia, Jerman, dan NATO. Pelanggan utama lainnya adalah Uniqlo dan H&M.
Untuk membuat pertumbuhan yang agresif, tentu membutuhkan investasi yang besar dan modal kerja yang lebih tinggi. SRIL, menurut Soo harus mempertahankan leverage agar pertumbuhan EBITDA bagus. Ia berharap rencana ekspansi SRIL sesuai dengan permintaan pasar.
Transaksi dengan pihak terkait pun bisa menimbulkan resiko, meski transaki ini juga bisa memberikan keuntungan dari segi bisnis. Struktur biaya yang lebih kompetitif dan margin yang lebih tinggi dari industri seharusnya bisa meringankan tekanan margin akibat volatilitas harga bahan baku.
Soo Chong Lim memprediksi SRIL akan mencapai pendapatan Rp 5,95 triliun atau naik 26,065 dari tahun lalu Rp 4,72 triliun. Sedangkan laba bersihnya akan mencapai Rp 450 miliar atau naik 45,16% dari tahun lalu Rp 310 miliar. Soo merekomendasikan neutral saham SRIL tanpa memberikan target harganya.
Agustini belum menghitung perkiraan pendapatan dan laba bersih SRIL tahun ini. Namun, dari konnsensus analis, pendapatan SRIL tahun ini akan mencapai Rp 6,9 triliun dengan laba bersih Rp 417 miliar.
Secara teknikal, Agustini melihat saham SRIL terus turun. Indikator MACD dead cross dengan tren melemah. Candle stick membentuk pola black marubozu dan telah tujuh kali mengalami penurunan. Dalam jangka pendek Agustini merekomendasikan trading sell saham SRIL dengan target harga Rp 180.
Kiswoyo pun merekomendasikan sell saham SRIL. Sementara analis Deutsche Bank, Samuel Sentana memberikan rekomendasi buy saham SRIL dengan target harga Rp 270 per saham. Selasa (24/6) harga saham SRIL naik 1,71% ke level Rp 178 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News