kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini dampak inverted yield curve US Treasury bagi Indonesia


Kamis, 15 Agustus 2019 / 16:45 WIB
Ini dampak inverted yield curve US Treasury bagi Indonesia
ILUSTRASI. Suasana Perdagangan saham di PT KDB Daewoo Securities Indonesia


Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbaliknya kurva imbal hasil US Treasury atau inverted yield curve dinilai bisa berdampak positif bagi Indonesia. Yield US Treasury tenor dua tahun lebih tinggi ketimbang US Treasury tenor 10 tahun untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, terjadi pada Rabu (14/8).

Hal ini menunjukkan bahwa investor obligasi memiliki pandangan yang jauh lebih suram terhadap ekonomi Amerika Serikat (AS) dan ekonomi global dibandingkan bank sentral AS. Ekonom perusahaan Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C Permana mengatakan, spread imbal hasil Indonesia dengan US Treasury menjadi semakin jauh, artinya posisi investasi Indonesia semakin menarik.

Fikri menambahkan, risiko resesi juga dianggap masih sangat kecil. Alhasil, potensi aliran dana asing untuk masuk ke Indonesia masih berlanjut.

Baca Juga: Yield obligasi anjlok di seluruh kawasan Asia Pasifik, kecuali Indonesia dan India

Dalam catatan Pefindo, sepanjang 2019 pasar keuangan Tanah Air masih mencatatkan inflow asing sebanyak Rp 167 triliun. Sebagian besar aliran dana asing masuk ke pasar keuangan, surat utang dan juga saham. "Lebih banyak masuk ke SUN, karena yield SUN masih sangat bagus dan kemungkinan Indonesia default masih kecil," ungkap Fikri, Kamis (15/8).

Selain itu, debt to GDP Indonesia masih di kisaran 30% yang menunjukkan bahwa utang masih cukup terkontrol. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun cenderung masih stabil, khususnya setelah dikeluarkan kebijakan domestic non delivery forward (DNDF).

Baca Juga: Ini penyebab kurva imbal hasil AS terbalik menurut ekonom Pefindo

Apalagi, Fikri melihat pasar saham mulai melakukan switching aset. Pelaku pasar saat ini lebih memilih untuk mencari aset-aset yang lebih aman. Pilihannya lebih banyak jatuh ke SUN.

Adapun kondisi yang masih menjadi perhatian pelaku pasar keuangan yakni perkembangan perang dagang AS dan China. Jika perang dagang terus berlanjut, emerging market termasuk Indonesia akan kena dampak.

Sebagai negara tujuan ekspor nomor pertama dan ketiga terbesar dari Indonesia, nasib perekonomian China dan AS memiliki pengaruh besar. Ketika ekonomi kedua negara tersebut terganggu, maka defisit transaksi berjalan (CAD) Indonesia berpotensi melebar, nilai tukar rupiah juga bakal terdampak.

"Alhasil, investor akan meminta risk premi yang lebih tinggi lagi, disusul bakal ada upgrade sovreign rating," jelasnya.

Baca Juga: Sentimen Global Kian Memburuk, Harga Minyak Anjlok

Bahkan, Fikri mengungkapkan seharusnya spread yield 10 tahun antara US Treasury dengan Indonesia berada di rentang 450-480 basis point (bps). Namun saat ini justru melebar menjadi 560 bps. Hal ini terjadi karena naiknya risk premium dan sentimen. Sedangkan secara fundamental cenderung masih positif.

Fikri mengungkapkan, porsi ekspor dan impor Indonesia hanya 24% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut terbilang masih sangat kecil dibandingkan negara-negara Asean seperti Vietnam yang kinerja ekspor impornya berkontribusi 110% terhadap PDB, begitu juga dengan Thailand yang mencapai 120%.

Baca Juga: Yield US treasury tenor 30 tahun anjlok di bawah 2%, kekhawatiran resesi menyeruak

"Tapi karena investor kita kebanyakan dari asing dan mereka enggak lihat Indonesia secara fundamental utuh, jadi akan ada segregasi. Ditambah lagi, sentimen dari negara-negara emerging market sudah negatif, sehingga investor asing maunya risk premium yang lebih tinggi," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×